Pages

Kamis, 22 Desember 2016

Kita (Aku dan Ibu Negara)

Kita adalah dua manusia pendendam yang tiada henti saling balas membalas laku

Pertama, kau perangkap aku dalam ruang sempit di perutmu selama sembilan bulan

Kemudian kubalas dengan memerangkap hidupmu dalam kekhawatiran akan aku yang membuatmu tak henti mendoakanku

Lalu kau perangkap surgaku di kakimu sebagai balasan, agar kepalaku yang seringkali tinggi mendongak harus menunduk di hadapanmu demi menyentuh surga

Kita dua manusia yang sama-sama saling terperangkap pada hidup satu sama lain

Dan kita dua manusia yang sama-sama tak ingin diselamatkan

(Serpong, 22 Desember 2016. Selamat Hari Ibu.)





Sabtu, 29 Oktober 2016

29 Oktober 2016

Malam minggu. Boro-boro ketemu kekasih hati yang lama dirindu, atau jalan bareng teman sekawanan icipin tempat makan baru, atau ngabisin waktu ke gramedia numpang baca buku. Malam ini kuhanya bisa baringan di kamar karena flu.

Bolak-balik guling-gulingin badan karena hidung mampet yang cukup mengganggu. Yang kiri mampet balik madep kanan, yang kanan mampet balik lagi madep kiri, dan gitu terus sampai ibukota pindah ke Pekanbaru. Ngga keruan pokoknya, sampai muka kuyu dan mata sayu. Badan pun hangat-hangat kuku.

Tangan gatel sih penget share di instagram, biar dapet ucapan cepet sembuh atau GWS gitu. Tapi takutnya yang ada di kolom komentar malah iklan peninggi badan dan penumbuh bulu. Ucet, emang aku tuyul, kurang tinggi dan kurang bulu?

Kamis, 29 September 2016

Pulang

Keluar dan berlelah-lelahlah
Biarkan peluh tertumpah
Di penghujung hari nanti tersedia hadiah
Baris kata yang bermakna megah

Pulang ke rumah

(Stasiun Kemayoran, 27 September 2016. Capek, mau pulang)

Rabu, 07 September 2016

Aku ingin jadi hujan yang menemanimu melompat-lompat di genangan
Bukan hujan yang kau datangi untuk menyamarkan jejak yang tertinggal selepas menangisi kenangan

(Serpong, 7 September 2016. Lagi neduh.)

Selasa, 23 Agustus 2016

Kisah 3 Baris

Kelak, aku ingin kita berdebat
Tentang jawaban yang masing-masing kita yakini paling tepat
Atas tanya dari bocah kecil bermata bulat

"Siapa yang dulu pertama kali menaruh hati, Ayah atau Ibu?"
Kamu mengatakan itu aku
Tapi aku mengatakan itu kamu

Lalu kita saling bersikukuh
Saling menuding dengan gaduh
Dan saling menunjuk dengan ricuh

Namun tak lama perdebatan kita luruh
Bersama derai tawa yang jatuh
Siapa peduli tentang hati siapa yang lebih dulu jatuh?

"Nak, tak ada hati yang jatuh lebih dulu
Karena masing-masing hati mau saling menunggu
Hingga sama-sama yakin untuk menjatuhkan diri tanpa ragu."

Sabtu, 13 Agustus 2016

Chapter 4

Dalam serial animasi Spongebob Squarepants, ada satu episode yang isinya menceritakan tentang Spongebob yang ingin hidup di alam liar jauh dari manusia, eh, ikan dan makhluk laut lain lebih tepatnya. Dia ninggalin semuanya. Rumahnya, pekerjaannya, temennya, keluarganya, bahkan bajunya. Dia hidup di alam liar bersama ubur-ubur. Tidur di pasir, makan rumput, juga berkeliaran tanpa baju. Jauh dari kerumunan masyarakat. Dan sumpah, saat ini, aku pengen banget ngelakuin itu. Bukan, aku bukan pengen bertelanjang ria makan rumput dan tiduran di pasir, yakali, otakku belum segeser itu. Maksudku saat ini aku pengen hidup menjauh dari manusia, mengasingkan diri hidup bareng sapi Wagyu yang kalau kulapar bisa dijadiin steak.

Aku ngga mau hidup bareng Kak Kinan lagi, juga ngga mau ketemu Mas Angga ataupun Mas Rama. Ngga setelah aib memalukan yang sungguh bikin aku pengen menggadaikan mukaku di penggadaian. Sayang mukaku ngga bersertifikat. Kurang berharga pula.

Semua berawal dari siang tadi. Seperti yang sudah direncanakan, aku, Kak Kinan, Rama, dan Mas Angga pergi menonton bioskop. Kami berangkat dari rumah sekitar habis Dzuhur naik mobil kodok klasik Mas Angga. Konon katanya, Mas Angga ini suka barang antik, makanya mobilnya antik. Masuk akal, pantas dia suka Kak Kinan.

Posisi duduk dalam mobil sudah bisa ditebak. Mas Angga menyetir, Kak Kinan di depan, aku dan Mas Rama di belakang. Sepanjang perjalanan, Kak Kinan dan Mas Angga ngga berhenti membuat kampanye terselebung mempromosikan aku pada Mas Rama, dan juga sebaliknya.

"Binar ini suka nulis lho, Ram, dia pengen jadi penulis." Kata Kak Kinan.

"O ya?"

"Iya. Dia suka nulis-nulis cerita terus diposting di Wattpad atau Wordpress dia. Bagus ceritanya, genrenya romance ya Bin? Pembacanya udah lumayan banyak lho."

"Wah, kreatif ya Binar."

"Selain suka nulis, dia juga suka masak Ram, bikin kue terutama. Kamu harus nyobain nastar bikinan dia, sumpah, enak banget!"

Kak Kinan terus menceritakan tentang aku layaknya mbak-mbak di iklan home shopping sedang mempromosikan panci tekanan tinggi keluaran terbaru. Aku cuma diem sambil sesekali menimpali dengan cengiran. Sumpah, canggung banget. Tengsin.

"Eh iya, kita ini mau nonton apa sih Kak?" Tanyaku mencoba mengalihkan isu yang sedang beredar.

"Mm, apa ya, bentar aku liat jadwalnya," Kak Kinan mengeluarkan hapenya, mengecek jam tayang bioskop secara online, "Wah, Conjuring 2 jamnya deket nih. Nonton itu aja yah?"

Mampus.

Bukannya aku penakut, hanya saja sebagai calon penulis, aku punya daya ingat dan imajinasi yang cukup tinggi, makanya sebisa mungkin aku menjauhi hal-hal yang bersifat horor. Dulu, aku pernah nangis di Mall, di toko boneka lebih tepatnya, karena malem sebelumnya aku habis nonton Chucky, si boneka setan saus tartar. Gara-gara dia, aku jadi takut kalau ternyata semua boneka di sana hidup, lalu mengeroyokku rame-rame. Aku juga pernah selama beberapa hari ngga nonton tivi dan nyentuh laptop karena aku takut Sadako keluar dari layar setelah nonton filmnya. Iya, imajinasiku setinggi itu.

"Kalau Now You See Me gimana, Nan?"

Baru aku membuka mulut ingin protes minta film lain aja, Mas Rama buka suara.

"Coba cek yah. Mmm.. Ada nih, jamnya juga deket. Mau nonton itu Ram?"

"Iya, gue penasaran sama itu."

"Oke deh, Now You See Me. Yang lain gimana, setuju?"

"SETUJUUUUUUUU!!!" Aku berseru dengan lantang. Duh, ingin rasanya menganugerahi piagam penghargaan sebagai tanda terima kasih ke Mas Rama. Mas Rama penyelamatku!

Di bioskop, antrean ngga terlalu rame, cenderung agak sepi. Mungkin karena udah masuk minggu-minggu akhir dari awal penayangan dua film happening itu. Kami datang mepet, pas banget sama jam tayangnya. Kak Kinan langsung buru-buru beli tiket plus pop corn, dan ngga lama tiket sudah ada di tangan.

"Kak, aku mau pipis dulu.." Kataku yang tiba-tiba saja kepengen pipis.

"Ya udah, pegang nih tiketnya. Kita masuk duluan yah, udah mulai soalnya. Studionya yang sebelah loket. Kita duduk di C 10 sampai 14, pinggir jalan kok."

"Oke!"

Aku menyambar tiket yang disodorkan Kak Kinan dan segera melesat ke kamar mandi. Setelah tuntas menyelesaikan tugas duniawi, aku bergegas menuju studio yang letaknya di kanan loket. Mbak-mbak yang bertugas di pintu merobek tiketku dan mengantarku masuk. Di dalam sudah gelap dan film sudah mulai. Sambil memicingkan mata mencoba melihat dalam gelap, aku mencari tempat dudukku. Aha, ketemu, ini dia C 10, tepat di pinggir. Aku duduk dan mulai menonton sambil sesekali meraup pop corn di sebelahku. Entah siapa sebelahku, gelap, aku ngga bisa lihat.

Semakin lama kutonton, entah kenapa kayaknya kerasa aneh. Dari trailer yang kulihat perasaan Now You See Me ngga begini ceritanya. Seingatku filmnya tentang sulap-sulapan. Kenapa ini malah tentang anak kerasukan?? Dan... KENAPA LAMA-LAMA SEREM????

"Ini kok aneh sih ceritanya, kenapa serem?" Aku berbisik ke sebelahku.

"Eh? Emang Conjuring serem kan?" Terdengar suara lelaki di sebelahku menjawab.

Conjuring? Sebelahku kenapa suaranya asing ya? Aku mengambil hape, menyalakannya dan mengarahkan cahayanya ke sebelahku. Di sebelahku nampak lelaki yang wajahnya asing bagiku. Aku melongo.

"Eh... Ini... Bukan.. Now You See Me..?"

"Bukan, ini Conjuring Mbak."

Mampus.

Aku menelan dengan berat pop corn yang sedari tadi kukunyah.

Senin, 08 Agustus 2016

Rindu Entah Keberapa

Rindu datang melulu
Dari Senin hingga Minggu
Singgah tak kenal waktu

Rindu berkepala batu
Diminta pergi tidak mau
Dimohon lenyap dia membeku
Perihal letih dia tidak tahu
Yang dia tahu hanya satu
Dia tidak ragu menunggu
Selama itu untuk temu
Selama itu untuk kamu

(Serpong, 13 Agustus 2016)

Jumat, 05 Agustus 2016

Khusus Dewasa

Selain di hadapan rindu, aku juga lemah di hadapan kata gratis, diskon, dan murah. Seperti hari kemarin. Ngga sengaja liat postingan tentang komik second kondisi mulus harga miring barang ready minat ping me. Tiba-tiba aku hilang kesadaran begitu saja, macam korban hipnotis Uya Kuya dikasih liat api. Ketika kesadaranku kembali aku sudah ada di depan atm, tangan satu memegang kertas struk bukti pembayaran, tangan satu mengetik watsap yang bertuliskan "sudah transfer ya sis buat komiknya." Ah, aku lemah.

Selang berapa hari dari itu, paket komikku pun tiba di kantor. Dua bungkus paket yang dikemas dengan pembungkus masing-masing berwarna pink dan biru. Sengaja memang kubeli banyak, mumpung murah. Dengan tak sabar, proses unboxing pun segera kulakukan. Kuambil salah satu paket, robek kertas pembungkus, gunting lakban yang menempel, lalu mengeluarkan isinya. Melihat komik-komik bertebaran, sebut saja Cebong, teman seruanganku, mengambil satu komik dan membacanya, sementara aku masih sibuk membuka bungkusan paket satu lagi.

"Kak Sita, Kak Sita liat deh!!" tiba-tiba Cebong dengan histeris memperlihatkan komik yang terbuka padaku, "Masa baru aku buka isinya udah tweweew!!"

"ASERIUS???"

Aku melihat komik yang disorongkan Cebong ke arahku. Di panelnya nampak gambar adegan yang sering kulihat dalam brosur posyandu milik Mamaku yang bertemakan asi eksklusif. Bedanya, tidak ada bayi di komik ini. Orang dewasa semua.

"WAIYAAAKK!! ISINYA TWEWEEW!!" Ujarku ikut histeris.

Kami pun membuka-buka komik lain. Hasilnya, hampir sebagian besar komik mengandung muatan dewasa. Yakinlah, kalau dibaca bocah di bawah umur dan ketauan Emaknya, pasti langsung disunat di tempat. Sumpah, aku ngga sadar kalau yang aku beli adalah komik dengan rating 17+, aku kira cuma serial cantik biasa. Coba kalau aku tau, aku ngga akan beli..

..dikit, yang banyak sekalian. Eh..

Aku memilah-milah komik, menyeleksi dan membaginya menjadi dua tumpukan. Satu tumpukan untuk yang aman dikonsumsi siapa saja, satu tumpukan lagi khusus untuk mereka yang butuh edukasi pra menikah.

"Aku ambil yang ini," aku menunjuk tumpukan sebelah kiri yang aman dikonsumsi, "yang ini diapain ya?"

Aku dilema. Dibuang sayang, penasaran. Disimpen di rumah, aku masih mau dianggap anak sama Mamah. Disimpen di kantor, aku ngga mau dipecat secara ngga baik.

"Aku buang aja apa ya?"

"JANGAN KAK SITA, AKU MAU BACAAAAA!!!" Cebong memekik, lalu mengambil satu komik dari tumpukan sebelah kanan, "Jangan ganggu aku ya, aku mau baca dulu, hiburan, biar ngga kayak orang kurang piknik."

Dia pun anteng di mejanya, membaca komik. Atau lebih tepatnya melihat-lihat gambar, karena yang dia lakukan hanya membuka-buka halaman dengan cepat sambil bergumam pelan, "mana lagi sih twewewnya.."

Yassalam si Cebong..

Sementara Cebong khusyuk "membaca", aku menelepon Incess, temanku di lantai 4, menceritakan perihal kedatangan komikku.

"Ncess, tau ngga, masa kan aku beli komik, eh aku ngga tau, ternyata isinya ada twewewnya."

"IYAKAH? MAU BACAAAA!!!"

Gubrak

"PINJEEEEEEMM!!!"

Suara Incess dari balik telepon terdengar penuh semangat, percis suara para wota neriakin nama oshinya pas lagi manggung dengan rok pendek berkibar-kibar.

"Pinjem pokoknya! Nanti aku turun yah."

Suara Incess hilang, digantikan suara tut tut dari telepon. Dan bener aja. Menjelang jam pulang, Incess turun, masuk ke ruanganku dengan menggebu-gebu, nodong minta komik, duduk di pojokan, dan anteng baca komik sampai pulang kerja. Tipe wanita idaman banget nih, sama komik aja serius, apalagi sama komikmen yang udah dibikin berdua kan.. #promointemen

Selain Incess, banyak lagi orang-orang yang datang ke ruanganku dengan modus pengen minjem komik. Di antaranya sebut saja Emak dan Bundo. Sekilas info, isi kolom status di KTP mereka beda dengan punyaku. KTP mereka bagian status terisi "kawin", punyaku  isinya masih "coming soon".

Mereka berdua ini paling rusuh, karena yang mereka lakukan bukan duduk manis membaca dengan tenang seperti Cebong atau Incess. Bukan, sodara-sodara, bukan. Yang mereka lakukan adalah membaca dialog adegan twewew dalam komik dengan penuh penghayatan. Lengkap dengan desahannya. Berasa video kenangan Ariel - Luna Maya dijadikan sandiwara radio dengan mereka berdua sebagai pengisi suara.

"Ah, Takeru, aaahh.." Emak membaca dengan nada suara mendesah-desah kayak habis makan maicih level 10.

"Aku mencintaimu, aaahh.." Bundo ikut membaca, membalas dialog Emak dengan desahan serupa.

"Apaan, pas ngelakuin aja tu bilang aku cinta kamu, aku cinta kamu!"

"Tau, kalau udah dapet maunya mah udah tuh, kita dicuekin!"

"Iya, laki gue tuh gitu!"

"Sama, laki gue juga!"

Ya Tuhanku, mereka malah berlanjut curhat masalah intern rumah tangga. Dasar wanita-wanita di kantorku karbet semua..

Jumat, 29 Juli 2016

Chapter 3

"Ya ampun Bin, belum siap-siap kamu??"

Aku menoleh, mendapati Kak Kinan berkacak pinggang memandangiku sebal. Penampilannya sudah berbeda. Lebih rapi dan manusiawi. Tidak seawut-awutan tadi pagi. Piyama buluk bergambar semangka kebangsaannya sudah tergantikan baju terusan panjang di bawah lutut. Bibir yang sebelumnya mengkilap karena makan gorengan berminyak sekarang gemerlap karena lipgloss. Belek di matanya juga sudah hilang, kini yang ada eyeliner. Sudah instagramable dengan hestek #OOTD banget pokoknya.

Sedangkan aku masih leha-leha selonjoran di sofa nonton ftv bareng Ibu. Masih dengan rambut yang kuuntel sembarangan, baju Bali gombrong bergambar barong yang sudah lusuh, bolong pula di bagian ketiak, plus aksesoris berupa handuk yang entah dari kapan kukalungkan di leher. Instagramable juga. Cuman hesteknya #GOTD. Gembel Of The Day.

"Iya, bentar lagi, nanggung Kak, lagi seru." Aku mengalihkan lagi mataku ke arah tivi, melanjutkan ftv yang sedari tadi kutonton.

"Apaan, dari tadi bentar lagi, bentar lagi mulu! Liat tuh udah jam segini, bentar lagi Angga dateng ngejemput, buruaaan!!" Seru Kak Kinan dengan frekuensi suara yang meninggi.

"Aduh Kinan, jangan teriak-teriakan dong, ngga kedengeran kan, lagi seru nih! Si cewek jahat mau kepergok lagi selingkuh tuh." Protes Ibu yang sedari tadi khusyuk di sebelahku sambil sesekali berkomentar ke arah tivi.

"Rasain, emang enak ketahuan!" Serunya puas melihat adegan si lelaki memergoki si wanita sedang bermesraan dengan lelaki lain.

"Tauk, emang enak! Putusin aja tu langsung, putusin!" Timpalku membalas celotehan Ibu.

Kak Kinan mendengus sebal, melenggang pergi ke arah kamarnya sambil menggerutu, "Dasar Ibu sama anak sama aja!"

***

Tok tok tok!

"Assalamualaikum."

Terdengar suara salam diiringi ketukan pintu.

"Bu, ada tamu tuh, buka Bu." Kataku yang kemudian dibalas dengan satu toyoran kecil di kepala.

"Lah ya kamu lah yang buka, masa kamu nyuruh ibu!"

"Duh, aku lagi nanggung, Bu."

"Lah ya sama! Bukain cepet, dia ngetok lagi tuh!"

"Ibu ajalah.."

"Eh, Ibu kutuk jomlo seumur hidup mau?"

"Atulah, Ibu mah.." Aku memanyunkan bibirku.

"Mau selfie kamu itu pasang duck face?"

"INI MANYUN BU, MANYUUUUUN!!"

Ibu tertawa puas melihatku. Tahulah aku bakat meledek Kak Kinan diturunkan dari siapa.

Dengan ogah-ogahan aku bangkit dari duduk dan berjalan ke arah pintu depan. Duh, tiba-tiba saja ketiakku terasa gatal. Sembari sebelah tangan menggaruk ketiak, sebelah tanganku membuka pintu. Pintu terbuka. Di depanku berdiri seorang lelaki tak kukenal dengan tubuh tinggi. Di belakangnya berdiri lagi seorang lelaki dengan wajah familiar.

"Hai Bin!" Sapa Mas Angga, "Kinan ada?"

Aku mematung kaku. Masih dengan satu tangan di ketiak. Masih dengan rambut awut-awutan. Masih dengan wajah kucel belum tersentuh air. Masih dengan outfitku yang bertemakan gembel of the day. Sedangkan di depanku berdiri lelaki dengan wajah yang dibilang jelek ngga, dibilang manis iya. Meski bergaya kasual hanya dengan kaus berkerah dan jeans, namun tampak trendi dan sesuai. Selintas wangi yang menguar dari tubuhnya mampir ke hidungku. Aku membatu.

"Mm.. Binar? Kinan ada?" Mas Angga mengulang pertanyaannya, mengembalikan kesadaranku.

"Eh iya, Mas, ehehe.. Ng.. Ada kok, masuk aja dulu, masuk, ehehe, nanti aku panggilin, hehe.."

Aku mempersilahkan Mas Angga dan Mas Manis satu lagi masuk. Sementara mereka menghampiri dan memberi salam pada Ibu, aku melesat masuk ke kamar Kak Kinan lalu menutup pintunya.

"Heh, kenapa kamu? Ngagetin aja!" Kata Kak Kinan.

"Huwaaaa, Kak Kinan kenapa ngga bilang kalau teman Kak Angga kece???? Kenapa ngga bilang kalau Kak Angga sama dia mau datang ke sini???? Kenapa ngga nyuruh aku siapa-siap dandan yang cantik????? Kenapa Kak, kenapaaaa?????"

Aku guling-gulingan di atas kasur Kak Kinan, membuat kasurnya yang sudah rapi jadi berantakan lagi. Duh Gusti, terlihat memalukan di hadapan lelaki kece, rasanya aku ingin hilang ditelan jamban saja...

"Oh, Angga udah datang ya? Lah kan tadi aku udah bilang kalau temennya Angga itu manis. Aku juga udah bilang kalau bentar lagi dia mau datang jemput ke sini. Udah dari tadi juga aku suruh siap-siap. Bagian mananya yang aku ngga bilang??"

Aku terdiam, bergulung dalam selimut. Iya juga sih, rasanya Kak Kinan udah bilang semuanya dari tadi.

"Makanya kalau aku bilangin tuh mbok ya nurut gitu lho. Sekarang buruan deh siap-siap. Jangan lama-lama, kasian kalau pada nunggu kelamaan. Buruan ayooo.." Kak Kinan menarik paksa selimut lalu menyeret tanganku memaksaku bangun.

"Habis mandi jangan lupa kasurku diberesin lagi."

"..."

Aku mandi secepatnya dan berdandan sekadarnya, bercelana jeans dan kaus rajut (Kak Kinan neriakin terus suruh cepet-cepet, gimana aku bisa khusyuk berlama-lama???). Peduli amat lah, toh penampilan terburukku sudah terlihat, yang bagaimanapun pasti terlihat lebih baik. Aku berkaca sekali lagi, mematut-matut diri di depan cermin. Mendingan, ngga nampak macam gembel habis kena gusur satpol pp lagi.

"Hei, sudah siap kamu Bin?" Kata Mas Angga ketika melihatku menghampiri mereka yang sedang ngobrol sama Ibu di ruang tamu.

"Ehehe, iya udah Mas."

"Oiya, kenalin Bin, ini teman Mas, namanya Rama. Ram, ini Binar, adek Kinan."

Mas manis bangun dari duduknya dan menyalamiku. Duh, sudah manis sopan pula. Aku membalas genggam tangannya dengan agak kikuk.

"Ng.., Binar. Nama panjangnya bukan Binaragawan, apalagi Binaria."

Krik.

Iya, garing, aku tau. Kan biar mencairkan suasana, namanya juga usaha.

"Rama.." Dia membuka suara, "Nama panjangnya bukan Ramayana, apalagi Ramatamah."

Tanpa bisa kutahan, aku tertawa mendengar ucapannya. Melihatku tertawa, tawanya ikut terlepas. Tawa yang merdu sekali. Dan aku suka mendengarnya.

Bersambung lagi, lanjut nanti.

Kamis, 21 Juli 2016

Masih Ada

Kamu tak pernah benar-benar pergi
Karena di jalanan yang dulu sering kita lewati
Dan di setiap tempat yang pernah kita singgahi
Masih berbekas jejak-jejak kaki
Milik kenangan yang kerap berlari-lari

(Cikini, 21 Juli 2016)

Jumat, 01 Juli 2016

Chapter 2

Bagiku, kesuksesan adalah kata yang tidak memiliki definisi mutlak. Kesuksesan memiliki arti yang relatif, maknanya tidak sama bagi semua orang. Tiap orang memiliki kaca mata berbeda dalam melihat kesuksesan.

Ada yang beranggapan sukses adalah berhasil hidup dari hasil keringat dan jerih payahnya sendiri tanpa bergantung pada orang tua. Sementara bagi mereka yang berasal dari desa dan mencoba mengadu nasib ke ibu kota, bisa jadi tolak ukur kesuksesan bagi mereka adalah ketika mereka mampu memberi kiriman materi pada keluarga di kampung secara rutin yang kemudian digunakan untuk merenovasi rumah dan membeli sawah. Atau bagi mereka yang bermasalah dengan berat badan berlebih, penurunan berat badan yang signifikan sungguhlah suatu kesuksesan yang besar.

Sementara bagiku, sukses bermakna sederhana saja, cukup berhasil bangun pagi di hari minggu tanpa kelewatan nonton Doraemon. Seperti hari ini. Aku sudah duduk manis menghadap tivi yang sedang menampakan wajah menangis Nobita dengan air mata memancur-mancur seperti air semprotan selang. Di tanganku semangkuk mi kari ayam dengan telur, sawi, dan rawit tampak mengepul-ngepul, menghantarkan wangi kari ayam yang khas.

"Wiii, wangi banget bagi dong!"

Kak Kinan tiba-tiba saja sudah ada di sebelahku, tangannya siap mengambil sendok dalam mangkuk. Kujauhkan mangkuk dari hadapannya.

"Bikin sendiri gih!"

"Hih, pelit banget, dikit doang!"

Aku menjulurkan lidah. Kusendok mi, menyeruputnya keras dengan wajah nikmat sambil memejamkan mata.

"Hmmm, sadis!" Kataku mencoba menirukan Al seperti iklannya di tivi.

"Pelit! Orang pelit jodohnya sulit lho!"

Aku mendengus.

"Ah mainannya jodoh melulu nih mentang-mentang udah punya gandengan. Sombong!"

Kak Kinan tertawa seraya mengambil mangkuk dari tanganku lalu menyeruput isinya.

"Kemarin gimana Kak? Lancar?" Tanyaku pada Kak Kinan.

Kak Kinan menggeleng dengan mulut penuh, lalu menelan masuk mi ke dalam kerongkongan sebelum menjawabku.

"Ngga lancar, Bin."

"Lho? Kenapa kak?"

"Macet. Ya malam minggu tahu sendiri jalanan gimana. Ngga ada lancar-lancarnya."

"Hish! Bukan jalanannya! Kencan Kak Kinan sama Mas Angga maksudku, lancar ngga?" Ujarku sebal. Mas Angga adalah lelaki yang sedang dekat dengan Kak Kinan akhir-akhir ini. Sejauh yang kuingat, kedekatan mereka sudah berlangsung kurang lebih dua bulan. Mas Angga sudah dua kali ke sini mengantarkan Kak Kinan pulang. Sudah ketemu juga dengan Ayah dan Ibu. Tapi kayaknya belum pacaran, karena terakhir kutanya minggu lalu Kak Kinan bilang Mas Angga belum nembak dia. Entah ya, mungkin segera.

"Ya lagian nanyanya gitu, ngga spesifik. Untung ngga kujawab 'ngga lancar, udah tiga hari keras, kurang makan sayur'."

Aku istighfar. Sepertinya dulu ketika sedang hamil Kak Kinan, Ibu sering ngidam makan daging-dagingan hingga hasilnya punya anak yang sering bikin darah tinggi.

"Auk, bodo amat! Ngga jadi nanya lah!" Kataku sebal sambil melipat tangan di dada.

"Ehehe, bejanda, lancar kok Dek, semalem kita candle light dinner." Jawab Kak Kinan sehabis mengeluarkan suara seruput keras.

"Woaaa, serius? Di mana?" Aku terperangah. Keren banget. Aku membayangkan makan malam di restoran yang letaknya tinggi, paling tidak di lantai 10. Duduk di dekat jendela, menikmati pemandangan kota malam hari yang dihiasi terangnya titik-titik lampu di tengah hamparan gelap. Cahaya lilin di tengah meja yang bersinar temaram menemani santap malam yang datang dalam tiga bagian. Appetizer, main course, dan dessert. Ah, aku jadi sedikit iri.

"Di pecel ayam pinggir jalan. Ada lalat beterbangan, jadi dipasang lilin buat ngusir lalat."

Prang. Suara khayalan dalam kepala yang pecah berkeping-keping.

"Meh. Bodo amat Kak, bodooooo!"

Tawa cekikikan Kak Kinan membahana memenuhi udara melihat wajahku yang menampakan rasa sebal dalam dosis tinggi. Hih, gemas sekali aku dengan kakakku yang satu ini!

"Eh iya tau ngga sih, Dek.." Kak Kinan menggantungkan kata-katanya, menciptakan efek misterius yang bikin penasaran.

"Apaan?" Aku menjawab galak.

Kak Kinan diam, menelan mi sebelum kembali berkata-kata.

"Kemaren sebelum makan, Angga mampir ketemuan dulu sama temennya sebentar. Ya Allah dek, temennya Masya Allah.. Kayak permen karet pas awal dikunyah, manis bener!"

Kak Kinan menyuap mi lagi sebelum kembali bercerita dengan bersemangat.

"Kayaknya baik lagi. Dan yang paling penting pas Kakak tanyain, dia jomlo, Dek! Available! Lowongan tersedia!"

Kayaknya aku tahu arah pembicaraan ini ke mana.

"Hooo, terus?"

"Nah, terus..," Kak Kinan tersenyum penuh makna ke arahku, "Nanti siang aku sama Angga mau nonton. Temennya itu juga ikut. Dan sama kamu juga. Ikut ya nanti."

"Hah?"

"Nanti siang kok, santai aja dulu nonton Doraemon sambil minya dihabisin. Dah ah, aku mau mandi dulu."

Kak Kinan menyerahkan mangkuk mi ke tanganku, lalu beranjak dari duduk. Aku menengok isi mangkukku. Isinya tinggal genangan kuah dan sawi yang berenang-renang.

Kakak saus tartar.

Bersambung lagi. Ngantuk saya.

Selasa, 28 Juni 2016

Chapter 1

Triing

Selintas bunyi muncul dari ponselku yang sedang tersambung dengan kabel charger. Dengan malas, aku memundurkan kursi yang tadinya rapat menghadap laptop di atas meja belajar. Tanpa bangkit dari kursi, aku melaju menggerakan roda kursi ke arah ponselku sedang dichas. Bagi pemalas profesional kelas kakap sepertiku, kursi dengan roda-roda sungguh suatu penemuan yang sangat bermanfaat. Siapapun yang menciptakan, doaku untukmu semoga dimasukan ke dalam surga! 

Kutengok ponselku. Logo line beratas namakan Kak Kinan tampak tertera di layar.

"Bin, bilang Ibu aku pulangnya telat ya, mau makan malem di luar. Terima kasih adikku yang cantik, imut-imut, lucu, dan menggemaskan."

Kucerna sejenak isi pesan Kak Kinan sebelum mengetik pesan balasan.

"Sama Mas Angga?"

Tak lama ponselku berbunyi lagi.

"Lah ya tentu lah, malem minggu tjoy.."

Aku tersentak kaget. Astaga, sekarang malam mingggu?

"Wah, malem minggu toh sekarang? Pantesan.."

"Pantesan apa?"

"Pantesan bukan malem jumat."

Sebuah stiker tangan menepuk jidat muncul di layar ponsel.

"Duh, kelamaan pacaran sama laptop sih, radiasinya ganggu kinerja otak kan. Coba sana pacaran sama manusia gih."

Jleb. Aw, jantungku. Siapa yang menancapkan paku ke situ?

"Sori, mau fokus berkarir jadi penulis dulu!"

"Duile, penulis, bikin cerita cinta ratusan jadi, cerita cinta sendiri satu aja ngga jadi jadi."

Ugh!
Tolong, siapapun, panggil UGD! Jantungku butuh masuk UGD, luka tancapannya makin parah!

"Kak, tadi aku ke toko buku ada majalah Hidayah. Judulnya 'Menghina Jomlo, Mati Terkubur Tanah Sengketa'. Serem ya."

"Ih iya, serem ya. Aku lihatnya tadi majalah mistis, judulnya 'Makhluk Goib Berpesta di Hati Jomlo Karena Lama Tak Berpenghuni'. Hiii."

Kakak bumbu sambal! Minta diulek! Errrrhh! Sebal!

Kubalas pesan Kak Kinan dengan emot menjulur lidah, meletakan ponsel lagi, lalu menggelosor kembali ke meja belajar. Kutatap layar laptop di depanku yang sedang menampilkan Microsoft Word dengan baris-barisan kata di dalamnya.

Aku menghela napas. Binar, 23 tahun, jomlo. Malam minggu dilewati bersama laptop, mengetik cerita yang kuharap kelak akan diterima penerbit, dicetak, dibukukan, dipajang di rak display toko buku yang bertuliskan best seller, diangkat ke layar lebar, dan ditonton oleh lebih dari dua juta penonton.

Namun jauh di lubuk hati, diam-diam aku punya harapan lain di luar cita citaku menjadi penulis. Harapan semoga aku punya kisah cinta yang tak kalah istimewa dari tokoh rekaan dalam cerita yang kutulis. Ya masa penulis kalah sama tokoh rekaannya kan? Sedih amat..

Bersambung. Dilanjut lagi kalau mood.
Minggu, 12 Juni 2016

Andai

Andai suatu hari kita terpisah, kuharap yang memisahkan kita adalah pembatas yang menjadi pemisah antara shaf lelaki dan perempuan.

Andai suatu hari kamu kusakiti, semoga tak lebih dari tendangan yang tak sadar kulakukan karena gaya tidurku yang buruk.

Andai suatu hari aku meninggalkanmu, kupastikan bukan karena aku pergi menjauh, tapi karena kantuk yang tak bisa kutahan maka kamu kutinggalkan sendiri menonton sepak bola dini hari.

Andai suatu hari hatiku terbagi untuk lelaki lain, yakinlah bukan pada yang lain selain lelaki kecil dengan rambut serupa kamu, lelaki yang kelak darimu dia belajar menerbangkan layangannya yang pertama.

(Serpong, 14 Juni 2016)
Jumat, 20 Mei 2016

Current mood

Mood lagi ngga bersahabat sama manusia. Membaur sama orang sekitar bawaannya males. Ngga sengaja papasan sama orang dikenal rasanya pengen ngegerutu dalam hati, mempertanyakan pada Tuhan kenapa aku bukan mutan yang punya kekuatan untuk ngga kasat mata, biar ngga usah keliatan orang orang, biar ngga usah berurusan sama mereka. Rasanya males banget untuk berinteraksi, entah itu ngobrol, nyapa, bahkan sekedar bales chat atau nanggepin tagan di path pun males. Pulang kerja pun sengaja jalan kulambat-lambatin biar kepisah jauh dari rombongan pulang bareng.

Aku pengen sendirian, pengen sibuk sama pikiranku sendiri tanpa harus mikirin orang di sebelah yang rasanya ngga etis kalau ngga diacuhin. Aku pengen sendirian, tanpa gangguan dari orang-orang yang meminta atensi untuk sekedar diperhatikan atau didengarkan. Ah, lagi pengen sendirian pokoknya. Eh tapi kalau bisa sih ditemenin kucing.
Minggu, 08 Mei 2016

Minum Obat Gih!

U : Uwo, nama panggilan saya dari ponakan
A : Aya, ponakan yang umurnya 5 tahun

U : bruohook guoook ggrrohook!! (Ceritanya batuk berdahak yang ngga cukup kalau disuarakan hanya dengan uhuk uhuk)
A : Wo, minum obat gih, nanti kalau ngga minum obat ngga punya uang lho!
U : Lah kok ngga punya uang?
A : Iya, kalau sakit kan besok ngga bisa kerja, kalau ngga kerja ngga dapet uang. Jadi kalau ngga minum obat nanti ngga punya uang.
U : Oiya ya!

Pesan moral : kalau ada temen ngutang yang tiap ditagih selalu ngelak dengan alasan ngga punya duit, suruh minum obat!

Senin, 11 April 2016

Suara Hati Yang LDR

Kirimkan aku nasi, karena senyummu yang hanya tersaji dalam racikan foto, emoji, dan simbol titik dua kurung tutup tak pernah cukup memuaskan lapar hatiku atas temu yang tak tercukupi.

Panggilkan aku tukang barber shop, mintakan padanya untuk memangkas jarak yang sudah terlalu panjang dan mulai menghalangi pandangan. Pesankan agar jangan dipangkas habis, sisakan saja beberapa senti.

Berikan aku earphone, kadang aku butuh untuk menyumpal telingaku dari nyanyian sumbang ragu dan prasangka yang dikeraskan oleh jarak.

Sediakan aku perahu karet untuk evakuasi, sedang banjir di sini. Mungkin akibat rindu yang sudah terlalu penuh. Menyumbat saluran nafas dan meluapkan genangan dari mata ketika musim penghujan tiba.

Nanti ketika Tuhan sediakan hari untuk kita berjumpa, jangan lupa membawa sekantung waktu sebagai bekal untuk kita habiskan bersama. Di penghujung hari, kita pergi membeli tali untuk kita ikat matahari agar dia tak bisa bergulir lagi. Agar hari selalu terang. Agar kita tak usah terburu-buru pulang karena alasan langit sudah gelap.

(Kebayoran, 11 April 2016. Untuk mereka yang sedang berjuang lebih karena jarak. Jangan kalah!)
Sabtu, 09 April 2016

Suara Hati Pemuja Rahasia

Andai pada hari itu
Aku cukup nyali untuk tersenyum menyapamu
Mengucap nama dengan tangan terulur yang menyimpan harap tinggi untuk kamu sambut dengan jabat hangat
Membuka cakap kecil tentang hal-hal ringan seperti cuaca, jalanan macet, atau hal apapun yang membuat bincang kita tak henti
Mencoba peruntunganku dengan melontarkan beberapa lelucon yang semoga mampu membuatmu tertawa hingga gigimu nampak
Lalu di akhir percakapan, aku meminta kontak atau media sosialmu untuk kuhubungi nanti bila aku ingin bercakap lagi

Andai pada hari itu
Aku cukup nyali untuk melakukannya
Akankah ada hari dimana namamu ada di kontakku dengan pesan yang baru saja terkirim berisi "terima kasih untuk hari ini :)"?

(Cikini, 9 April 2016. Untuk mereka penikmat cinta dari jauh. I feel you. I've been there before.)

Kamis, 07 April 2016

Bangku

Hidup. Isi di dalamnya kebanyakan cerita tentang rebutan bangku.

Baru masuk SD rebutan bangku paling depan.
Temen ulang tahun ada games rebutan bangku.
Ada film terkenal yang baru tayang rebutan bangku bioskop.
Lulus SMA rebutan bangku kuliah.
Politikus rebutan bangku pemerintahan.
Naik kereta rebutan bangku duduk.
Sama mantan rebutan bangku pelaminan.

Aku ngga mau bangku deh, maunya kasur.  Mau tiduran aja. Rebutan juga ngga ya?

Rabu, 06 April 2016

Tisu

Bolehkah aku minta satu kotak tisu?
Tidak, aku tidak ingin menggunakannya untuk menghapus deras air matamu
Yang ingin kulakukan dengannya adalah membuat boneka pencegah hujan yang nantinya akan kugantung di sudut matamu
Aku ingin memastikan, tak akan ada rintik hujan turun dari sana

(Stasiun Serpong, 6 April 2016, sedang neduh nontonin hujan karena ngga bawa paying)

Rabu, 23 Maret 2016

Hujan, Waktu Terbaik

Mereka bilang hujan adalah waktu terbaik untuk menyantap semangkuk mi rebus dengan telur dan cabai rawit

Atau untuk menghirup wangi kepulan wedang jahe sebelum kemudian menyesapnya perlahan dengan suara seruput pelan

Atau untuk membiarkan diri bergelung lebih lama dalam balutan selimut yang menyembunyikan tubuh dari kedinginan

Atau untuk menulis puisi tentang rindu yang tiba-tiba menggenang seperti genangan air hujan yang meluber dari saluran yang mampet

Atau untuk sekedar berdiam, membiarkan ramai suara rintik memecahkan hening dalam kepala

(Cikini, 23 Maret 2016)
Sabtu, 19 Maret 2016

Tiba-Tiba Saja

Jatuh cinta padamu seperti jatuh tertidur

Tak pernah sadar kapan dan bagaimana aku terlelap
Yang aku ingat hanya memejamkan mata
Tiba-tiba aku sudah dalam mimpi
Dan ketika terbangun hari sudah pagi

Seperti itu aku tertidur, seperti itu pula aku jatuh cinta

Tak pernah sadar kapan dan bagaimana aku menaruh hati,
Yang aku ingat hanya membuka percakapan
Tiba-tiba saja waktu melesat laju menempatkan kita pada ucapan selamat tinggal
Dan aku tidak sabar untuk kembali bercerita lagi

(Serpong, 19 Maret 2016)

Kamis, 10 Maret 2016

10 Maret 2016

Halo para pengguna commuter line! Bagaimana keadaan emosinya hari ini, sehat? Baik-baik saja? So far so good, so nice, makanan para juara?

Commuter line hari ini lagi asik sekali. Bukan maen. Uwuwu. Ntap! Kayaknya semesta nyoba buat sesekali ngeluarin aku dari putaran rutinitas pagi yang begitu-begitu saja. Naik - duduk - pake masker - tidur - mangap - bangun - nyampe - turun.

Semesta bosan ngelihat rutinitas sama yang kulakuin tiap pagi 6 hari seminggu, maka dia ngelakuin sedikit improvisasi biar ngga monoton. Dan terima kasih semesta, pagi ini beda. Yang terjadi adalah naik - duduk - pake masker - tidur - mangap - bangun - belum nyampe - tidur lagi - bangun lagi - seh, masih belum nyampe, ada apa ya? - keretanya ketahan ternyata! - lihat jam - syok - ngedumel dalam hati nyebutin nama-nama kingdom animalia - nunggu selama waktu yang lama sampai narator lelah dan digantikan narator baru - turun.

Dari pengumuman yang terdengar, dan juga tambahan kabar dari twitter, baru aku tau kalau ada kereta anjlok di jalur Tanah abang - Karet yang dampaknya bikin beberapa rute perjalanan keganggu. Di antaranya jalur yang mengarah dari Tanah abang ke Bogor. Kereta yang lewat rute itu sama sekali ngga beroperasi.  Jalur Serpong - Tanah abang pun kena dampaknya. Kereta ketahan lama karena banyak antrian kereta yang masuk dan keluar di Tanah abang. Begitu pun keretaku. Stuck di tengah rel menuju Tanah abang, nunggu antrian selama setengah jam lebih.

Aku ngelihat jam. Kotor, banyak kuning-kuning, banyak lalat. Salah lihat, ternyata yang kulihat jam-ban. Aku ngelihat jam di hapeku. Jam setengah 8 lebih 10. Terlambat satu jam dari biasanya. Biasanya jam setengah 7 lebih aku udah nyampe Tanah abang. Dilanjutkan transit naik kereta arah Bogor dan turun di Manggarai. Sekarang jam segini aku baru turun di Tanah abang. Ditambah lagi kereta yang mengarah ke Manggarai ngga beroperasi. Maksimal jam setengah 9 aku sudah harus absen finger print. Berarti waktuku tinggal 40 menit menuju kantor. Lewat dari itu aku dianggap alfa. Aku mulai panik. Aku ngga mau dianggap robot kepala gepeng yang suka ngomong "ayayaya".

Beruntung kita hidup di jaman yang canggih, jaman di mana ojek bisa dipanggil dengan mudah, semudah menggeser jari, dengan bantuan aplikasi. Ojek onlen. Entah dengan kalian, tapi setiap habis mesen ojek onlen aku ngerasa keren sekali, serasa kayak Goku. Goku berteriak manggil "awan kinton!" lalu awan kinton datang ngejemput dia. Keren. Seperti itu. Aku pegang hape, buka aplikasi, mesen, lalu abang ojek onlen datang ngejemput. Canggih. Bedanya awan kinton ngga minta bayar 17ribu pas rush hour. Ngga papalah, yang penting ngga telat.

Mau lanjut cerita tapi aku ngantuk. Udah ah.

Minggu, 06 Maret 2016

Dari Ngantuk, Jerawat, Sampai Kangen

Ngga tau habis makan apa atau kena hipnotis di mana, tapi hari kemarin rasanya ngantuk lagi membabi buta banget. Bawaannya pengen tidur terus. Berasa habis gadoin antimo satu renceng. Dalam 24 jam waktu satu hari, nyaris setengahnya habis kupakai tidur.

Dimulai dari pagi, di perjalanan ke kantor aku tidur di kereta sampai bablas kelewatan tiga stasiun. Harusnya turun di stasiun Cikini, tapi baru kebangun menjelang stasiun Juanda. Siangnya jam 11an, mata mulai berasa berat dan aku ngga berhenti nguap. Nunggu jam istirahat masih lumayan lama. Maka aku ngumpet di pojok ruangan, lalu tidur ngegelatak di lantai sampai jam setengah 12 lebih. Ngga lupa sebelumnya titip pesan sama partner seruangan, kalau ada yang nyariin bilang aja aku di kamar mandi. Kalau ditanya lagi ke kamar mandinya kok lama, bilang aja aku lagi sembelit, udah seminggu ngebom ngga lancar. Ya Allah, semoga tulisan ini ngga kebaca sama Pak bos dan para atasan. Kalau pun kebaca, semoga mereka lupa caranya membaca. Atau mereka lupa cara berbahasa Indonesia.

Apa setelah itu ngantuknya hilang? Sayang sekali, ngga. Ngantuk masih berasa waktu aku pulang dan lagi-lagi aku tidur di kereta. Untung yang kali ini ngga bablas kelewatan. Dua stasiun sebelum turun udah kebangun. Malamnya ngantuk masih berlanjut, jam setengah 10 aku udah tegeletak ngga sadarkan diri di kasur dan baru siuman jam 8 pagi. Bukan maen. 

Aku pun cerita masalah ini sama mas calon masa depan yang demi keringkasan penulisan kita singkat aja jadi camasdep. Ekspektasi, direspon dengan kata manis penuh perhatian macam "ya ampun, kamu kecapean kali. Yuk jajan, biar energinya keisi". Kenyataan, malah dikatain kebo. Saos tartar emang manusia satu itu. Untung sayang, kalau ngga sekarang pasti dia lagi guling-guling kegelian karena boneka voodoo-nya sedang kukitik-kitik.

Ngga cuma lagi ngantukan, beberapa hari ini juga aku lagi jerawatan. Lagi. Emang sih biasanya kalau tamu bulanan lagi dateng kunjungan, jerawat suka ikutan dateng. Tapi biasanya cuma sebiji, ngga kayak sekarang yang datengnya rame-rame kayak rombongan nganter haji. Banyak yang bilang kalau ini jerawat kangen, menimbang aku dan camasdep yang udah nyaris seminggu ngga ketemuan. Mitos yang banyak beredar gitu kan, jerawat nongol karena lagi naksir atau lagi kangen. Ngga ada gitu mitosnya orang jerawatan karena feng shui yang ngga hoki. 

Kalau bener kangen itu memicu jerawat, berarti kangen ngga ada bedanya sama butiran debu ya. Di muka bikin jerawatan. Kehirup, ganggu jalur nafas, bikin sesak. Di mata bikin pedih berair. 

Aku tanpamu, butiran debu = aku tanpamu, kangen. 
Kamis, 03 Maret 2016

Pesan Yang Menunggu Ditemukan

Angin tak hanya menerbangkan layang-layang, terkadang ia pun menerbangkan pesan yang tak sempat tersampaikan
Karena pesan kadang merupa anak pemalu yang tak cukup nyali untuk mengucap sendiri pada yang tertuju
Untuk kamu, arah laju pesanku, pemilik nama yang membuat doaku lebih panjang dari biasanya

Riuh mungkin mampu meredam sunyi, tapi tidak menekan sepi
Ini jantungku, semoga salah satu alasan detaknya adalah untuk menghingarkan waktu-waktu heningmu
Namamu di telingaku tak ubahnya bel pertanda istirahat di tengah pelajaran yang paling kubenci, mendengarnya dibunyikan aku bahagia
Dunia yang tanpa kamu, aku sanggup hidup di dalamnya, namun tak akan kukenali lagi warna-warna selain hitam dan kelabu
Untai-beruntai bait syair dari kepalaku yang katamu gombal bagiku jujur yang sebenar-benarnya jujur

Kita, kata favoritku di dunia, harapan yang dengan seringnya kusematkan dalam doa dan kusemogakan dengan aamiin
Ada masanya aku adalah pengeluh yang gemar merutuki hidup, tapi denganmu bahkan hal terburuk bisa kusyukuri
Mereka bilang hidup adalah perjalanan, maka mari kita tempuh bersama, agar jauh kita sanggup melangkah
Untuk kita, yang sedang menanti di masa depan ditemani batang rokok terakhir yang nyaris puntung

Bacalah meski hanya huruf pertama saja

(Cikini, 4 Maret 2016)
Jumat, 26 Februari 2016

Titik Dua Kurung Tutup

Aku selalu suka melihat dia tersenyum.

Senyumnya, lengkung terindah di dunia, mengalahkan pesona lengkung pelangi dan bulan sabit. Di duniaku paling tidak.

Senyumnya, serupa candu. Mengadiksi, tak kenal cukup. Menghasut semua sel, syaraf, organ, hingga seluruh pikiranku untuk berteriak "Lagi! Lagi! Lagi!", layaknya penonton konser yang riuh karena euforia yang belum habis.

Senyumnya, seperti gas helium yang dipompa tukang balon ke dalam paru-paruku, memenuhi isinya hingga gembung mengembang. Membawa tubuhku melayang, naik, dan terus naik hingga kepalaku terbentur langit-langit atap.

Senyumnya, semacam pengingat, seperti lembar post it yang tertempel pada layar komputer. Mengingatkan aku, bahwa di antara hal-hal buruk yang berlimpahan di dunia, ternyata Tuhan masih menyempatkan waktu untuk menciptakan hal-hal indah.

Aku selalu suka melihat dia tersenyum. Tapi yang lebih aku suka lagi, menjadi yang ada di balik layar, yang menggerakan tuas senyumnya.

(Serpong, 28 Februari 2015)

Selasa, 23 Februari 2016

Aku, si Tukang Iri

Aku iri pada pulpen yang kau pasang namamu rekat-rekat, yang kau tegaskan sebagai kepunyaanmu dan kau takutkan akan hilang berpindah tangan pada yang lain.

Aku iri pada topi sekolah di hari Senin yang selalu kau cari-cari dengan panik bila hadirnya tak nampak, karena aku ingin menjadi apapun yang saat aku ditemukan kamu merasa senang.

Aku iri pada soal ulangan yang bisa lama kau pandang lekat-lekat, yang menjadi saksi dari wajahmu yang perlahan berkerut saat mencoba mengingat-ngingat apa yang kau pelajari semalam, lalu berubah binar saat jawabannya kau temukan dalam memori kepala.

Aku iri pada meja yang selalu kau jadikan sandaran tangan dan kepala setiap kali kantukmu datang di tengah pelajaran. Iri sekali. Dengan mudahnya dia rasakan apa yang selama ini selalu bahuku dambakan.

Ah, aku iri pada semuanya!

Aku iri pada angin yang selalu kau izinkan mengacak-ngacak rambutmu dengan seenaknya tanpa malu-malu.

Aku iri pada sajadah yang selalu kau sentuhkan dengan kening sambil kau bisikkan doa-doamu paling tidak lima kali dalam sehari.

Aku iri pada earphone yang menemanimu menyenandungkan lagu-lagu kesukaanmu.

Sungguh aku iri atas apa yang mereka bisa lakukan. Karena aku tidak bisa.


(Maret, 2016)
Minggu, 14 Februari 2016

Waktu

Waktu memang begitu, membatu ketika merindu, melesat laju ketika tak ingin dia berlalu.

Waktu memang begitu, tak bisa diminta menunggu, pun diajak terburu-buru.

Waktu memang seperti itu..

(Kramat Raya, 15 Februari 2016)

Senin, 08 Februari 2016

Cakap Tentang Cinta

"Sayang?"

"Hmm?"

"Menurut kamu cinta itu apa?"

"Eh, apa?"

"Menurut kamu cinta itu apa?"

"Kenapa kok kamu tiba-tiba nanya gitu?"

"Ya.. ngga papa, iseng aja."

"Yeeee, kalau iseng mah mending kamu isi TTS gih, terus kirimin hasilnya. Lumayan, iseng iseng berhadiah."

"Iiiiih! Kamu nyebelin!"

"Aduh, aduh, ampun! Cubitan kamu naik level kayaknya ya, makin pedes."

"Jawab makanya yang bener, atau aku cubit lagi nih!"

"Hahaha, kamu sih, ditanya kenapa jawabnya iseng doang."

"Yaa... aku pengen tau aja, kalau menurut kamu cinta itu apa?"

"Hmm.. cinta ya.. apa ya..

Kalau dideskripsiin agak susah sih..

Tapi tiap denger kata cinta, entah kenapa ada hal yang tiba-tiba aja terlintas di pikiran aku."

"Oya? Apa itu?"

"Hujyan, ojyek, becyek."

"Kamu ngeselin banget tau nggaaaaaaaa!!!!!"

"Adududuh, ampun, ampun!! Itu tangan apa tang sih, nyubit pedes banget!"

"Kamu juga, orang apa bumbu pecel sih, ngegemesin minta diulek tau ngga!"

"Hahaha, gurih gurih nikmat dong."

"Bodo ah, bweeeeek!"

"Hahaha, iya iya, aku jawab nih. Cinta ya.. hmm.. jujur aku ngga terlalu ngerti sih apa itu cinta."

"Yah, gitu.."

"Haha beneran, aku ngga terlalu ngerti cinta itu apa."

"Berarti yang selama ini kamu rasain sama aku kamu sebut apa? Selama ini kamu bertahan sama aku karena apa?"

"Apa ya, ya iseng aja, daripada jomblo kan, ehehe.."

"Bodo amat! Auk ah, ngeselin!!"

"Ahaha, dih, jelek banget manyun gitu..

Yah, mungkin emang aku ngga terlalu ngerti apa itu cinta, tapi aku ngerti dengan baik sinyal-sinyal yang dipancarkan Tuhan."

"Sinyal?"

"Iya, sinyal..

Jadi lewat perantara semesta, Tuhan mengirim sinyal-sinyal yang mengandung arti..

Sinyal yang gelombangnya berhasil ditangkap oleh hati, dan artinya aku mengerti dengan baik."

"Sinyal berupa apa?"

"Banyak. Debaran di jantung, bibir yang senyum-senyum mandangin pesan masuk, rindu kalau ngga ketemu, banyak deh! Itu, sinyal-sinyal yang dikirim Tuhan."

"Terus, apa arti sinyalnya?"

"Arti sinyalnya?

Artinya..

Kata Dia, kamu layak untuk aku perjuangin.."

"..."

"Kata Dia, masa depan bersama kamu, layak untuk dijalanin.."

"..."

"Kata Dia, waktu menua bersama kamu, layak untuk dilewatin.."

"..."

"Itu yang aku ngerti."

"..."

"Dan karena itu, aku memilih kamu.."

"... hiks..."

"Hei, kok kamu nangis?"

"Ngga, hiks, aku ngga nangis kok, hiks.."

"Terus itu apa dong, air cucuran atap yang jatuh ke pipi?"

"Hiks.. ini sinyal tau, buat kamu.."

"Ooo, apa arti sinyalnya?"

"Arti sinyalnya?

Katanya sama kamu, aku bahagia..

Terima kasih selama ini udah perjuangin aku. Perjuangin kita."

"Ooo, aku kira artinya kamu kalau nangis tambah jelek, hidungnya jadi merah gitu tuh."

"KAMU NGESELIN BANGET SIH, HIIIIIH!!!!!"

"WAHAHAHAA, ADUDUDUDUH, AMPUUUUN!!"

Sabtu, 23 Januari 2016

Kisah Ujung Pelangi

Langit makin menggelap, menandakan waktu tidur sudah tiba. Tangkai jarum jam yang termungil nyaris menunjuk angka yang sama dengan jumlah semua jari-jemari di kedua tangan. Seorang bocah terbaring di tempat tidur. Tubuhnya tertutup selimut, namun matanya terbuka lebar, menampakan sejumput energi dan semangat yang masih tersisa, belum sepenuhnya habis oleh kantuk.

"Lho, Iris belum bobo?"

Seorang wanita muncul dari ambang pintu, menghampiri bocah itu dan duduk di tepi kasurnya.

"Belum Bu, aku belum ngantuk."

"Udah malem lho, besok sekolah kan."

"Iya,tapi aku belum ngantuk. Ceritain aku dong Bu."

"Mau cerita apa emang?"

"Mmm.. apa ya.." bola mata bocah itu memutar ke atas sementara dia berpikir.

"Oia! Cerita Ibu ketemu Bapak deh!" serunya.

Sang Ibu tertawa.

"Hooo, mau tau gimana Ibu ketemu sama Bapak?"

Iris menjawab dengan anggukan penuh semangat. Sang Ibu membetulkan posisi duduknya agar lebih dekat dengan Iris lalu mulai bercerita..

***

Tak ada yang lebih disukai para peri cahaya penghuni awan selain bumi sore hari selepas hujan. Setiap momen itu tiba, para peri cahaya selalu turun menjumpai bumi. Entah untuk melompat-lompat di genangan, menjejak rumput basah, atau sekedar duduk menyaksikan sisa tetes hujan berlomba turun dari dedaunan, adu cepat siapa yang lebih dulu menyentuh tanah. 

Menuju bumi, para peri cahaya tidak turun melompat begitu saja, tidak. Mereka meluncur turun dari awan dengan seluncuran warna warni yang mereka ciptakan dari pendar cahaya yang membias, yang membentuk lengkung tujuh warna, yang kemudian mereka namakan pelangi.

Setiap kali peri cahaya meluncur turun ke bumi, selalu ada bubuk cahaya dari tubuh mereka yang berjatuhan dan tertinggal di ujung pelangi. Bubuk cahaya yang mengandung keajaiban. Siapapun manusia yang bisa menyentuhnya akan mendapat harta yang tak ternilai, yang paling berharga dalam hidupnya.

***

"Aku kan minta Ibu cerita gimana Ibu ketemu Bapak, kenapa malah cerita itu?" Iris melipat tangan di dadanya, sebal.

Ibu tersenyum dan menaruh telunjuknya di bibir.

"Diam dulu. Dengerin. Ceritanya belum selesai."

***

Sore itu langit tumpah ruah. Bulir-bulir hujan tak henti berdatangan menjejak bumi. Jalan sepi. Banyak makhluk menepi, berteduh mencari tempat berlindung. Tapi tidak gadis itu. Dia tampak tak peduli, justru menikmati. Dengan payung di tangan, ia terus berjalan di bawah iringan hujan hingga rintiknya menipis, melambat, dan akhirnya mereda. 

Sedikit demi sedikit langit menerang. Berkas cahaya mulai memancar dari matahari yang masih mengintip malu. Lalu saat itulah ia melihatnya. Tepat di depan matanya. Lengkungan besar seluncuran tujuh warna. Pelangi. 

Ia termangu takjub, terpukau dengan apa yang dilihatnya. Dengan terpesona ia melangkah, menyusuri arah lengkung pelangi hingga tibalah dia pada ujungnya. 

Baginya pelangi sungguh mempesona. Namun apa yang kini ia lihat jauh lebih menakjubkan lagi. Ujung pelangi yang berpendar karena bubuk cahaya yang berjatuhan. Kuning keemasan, gemerlap berkilauan. Seterang pijar kunang-kunang. Didorong rasa takjub dan penasaran, tak sadar ia julurkan tangan menyentuh cahaya berpendar di ujung pelangi. 

Lalu terjadilah. Ketika bersentuh dengan tangannya, cahaya di ujung pelangi bersinar makin terang. Sangat menyilaukan, hingga gadis itu harus menutup mata seraya menghalau cahaya dengan tangannya. 

Saat akhirnya ia membuka mata, pelangi dan ujungnya yang bercahaya sudah lenyap. Namun ia masih terpaku karena di depannya berdiri hal yang tak kalah mempesona. Tak kalah indah dari pelangi. Tak kalah menawan dari ujungnya yang bercahaya. 

Sesosok lelaki.

***

"Dan itulah ceritanya gimana Ibu ketemu Bapak."

Ibu memandang Iris yang kini sudah terlelap tidur. Ia bangkit perlahan, takut mengganggu tidur Iris.

"Selamat tidur ujung pelangi kedua Ibu." Ibu berbisik pelan di telinga Iris, mengecup dahinya, mematikan lampu, dan keluar kamar.

"Iris udah tidur, Dek?" tanya Bapak melihat Ibu keluar dari kamar Iris.

"Sudah Mas. Tadi ngga bisa tidur, terus minta diceritain. Sekarang sudah pules tuh."

"Oh.. cerita apa sih?"

Ibu tersenyum jahil sambil mengedipkan matanya.

"Rahasia.."


Jumat, 22 Januari 2016

Karena Menulis Adalah Merekam Kenangan ke Dalam Kata

Aku manusia pelupa, karena itu aku harus menulis, 
agar jika nanti ada hal penting yang tak sengaja terlupakan
seperti kenapa aku yakin untuk menitipkan hati padamu misalnya, 
aku bisa mengingatnya lewat ingatan yang tersimpan rapi dalam wujud aksara.
(Serpong, 22 Januari 2016)
Jumat, 15 Januari 2016

Karena Ini Kehidupan

Selamat datang di kehidupan

Tempat di mana tidak semua yang terjadi adalah hal yang menyenangkan.

Tempat di mana tidak semua damba bisa dijangkau tangan.

Tempat di mana tidak semua ketentuan-Nya sejalan dengan yang diekspektasikan.

Tempat di mana tidak semua perjalanan terlalui dengan mulus tanpa hambatan.

Tempat di mana tidak semua harapan bisa mewujud jadi kenyataan.

Karena ini kehidupan.

Karena hidup bukan taman ria yang isinya hanya kesenangan.

(Serpong, 16 Januari 2016)

Selasa, 12 Januari 2016

Mari?

Mari duduk bersisian
Dengan bahu yang saling bertempelan
Pandang yang seringkali bercuri-curian
Dunia, seisinya, dan apa saja untuk diperbincangkan
Beserta degup yang gaduh tak beraturan
Lalu kita akhiri hari dengan menumbalkan waktu untuk disalahkan
Karena melesat terlalu laju seperti kuda balapan

(Kramat Raya, 13 Januari 2016)

Jumat, 08 Januari 2016

Tentang Masa Lalu

Tentang masa lalu
Aku tidak ingin melupakannya
Yang aku mau
Ketika kenangan membawanya kembali
Aku tersenyum
Dan baik-baik saja

(Tanah Abang, 8 Januari 2016)

Senin, 04 Januari 2016

Tanggal Merah di Hari Minggu

Dear Risa,

Melalui sepucuk surat ini aku ingin mengucapkan selamat atas pernikahanmu. Doa untuk kebahagiaanmu sengaja tak kutulis di sini. Aku memilih untuk menyampaikannya langsung pada Dia, Sang Pengabul Doa. Yakinlah, yang kupanjatkan untukmu adalah yang terbaik yang bisa kusematkan dalam doa.

Ris, kamu tahu tidak, dari semua hal yang paling kubenci di dunia, tanggal merah yang jatuh di hari Minggu adalah peringkat pertama yang menempati urutan teratas. Sungguh, aku benci sekali. 

Tanggal merah di hari Minggu bagiku sia-sia, seperti menabur garam di samudera.

Seperti nyala lilin di bawah terik matahari.

Seperti jatuh cinta pada orang yang salah di waktu yang salah.

Seperti mencintai dia yang telah termiliki di saat aku pun sudah ada yang memiliki.

Seperti aku padamu, Ris..

Tak jarang aku mengumpat dan merutuki, mengapa Pemerintah biarkan tanggal merah jatuh di hari Minggu? Kenapa tidak beliau geser saja menjadi hari Senin, biar dua tanggal merah berdampingan, biar bahagianya berganda?

Ris, kamu pernah bilang padaku, hal-hal dalam hidup itu terbagi dua, yang  masih mungkin diperjuangkan untuk diubah dan yang hanya bisa direlakan. Bagiku tolol rasanya  untuk memperjuangkan ini, untuk datang menggebrak pintu istana Presiden meminta tanggal merah di hari Minggu untuk dienyahkan. Tak mungkin kuubah. Yang bisa kulakukan hanya merelakan, membiarkan hari Minggu bertanggal merah berlalu dibawa waktu, dan mempersilakan datangnya hari yang baru.

Sama seperti aku padamu, Ris..

Ris, kamu tahu, bukan hanya kamu yang punya kabar bahagia, aku juga punya. Sudah beberapa hari ini Manda tidak enak badan, maka aku pergi membawanya periksa ke dokter. Bisa kamu tebak apa yang dikatakan dokter? Manda hamil Ris, hamil! Sudah berjalan enam minggu! Aku akan segera jadi ayah!

Kalau kamu tanya apa aku bahagia atau tidak, aku akan jawab iya, aku bahagia. Manda wanita yang baik. Sangat baik. Terlalu baik untuk kukecewakan. Terlalu baik untuk tak kubahagiakan. Aditmu pun seperti itu kan? Semoga kalian berdua hidup saling membahagiakan, tak terganggu tanggal merah di hari Minggu. 

Sekali lagi kuucapkan selamat untukmu Risa, tanggal merahku yang jatuh di hari Minggu.

Kresno

Di hadapan sepucuk surat putih itu, tampak sepasang bola mata menekuni hurufnya satu demi satu, ditemani bulir bening yang sesekali mengaliri pipinya.

"Dan kamu pun tanggal merahku yang jatuh di hari Minggu, Kres.."