Pages

Sabtu, 18 Februari 2017

Bulan

Seperti biasanya, malam ini kuhabiskan dengan duduk di teras. Menghisap sebatang rokok yang sudah nyaris puntung sembari memandang bulan yang malam ini sedang purnama.

Seperti biasanya, dia muncul dengan segelas kopi dan meletakannya di sebelah asbak lalu duduk di sampingku. Aku menghembuskan asap terakhirku dan membuang puntung ke dalam asbak.

Seperti biasanya, kami duduk bersebelahan dalam diam yang nyaman sembari sama-sama memandang bulan. Atau yang kukira begitu.

Karena tak seperti biasanya, malam ini diam dipecah oleh suaranya.

"Sebenarnya apa yang kau lihat dari malam?"

Aku mengarahkan telunjukku ke atas

"Aku melihat bulan."

Dia membulatkan mulutmu sembari mengangguk-angguk, lalu kembali terdiam.

"Hei."

Tak lama, suaranya kembali terdengar.

"Apa?"

"Bagaimana... bagaimana kalau ternyata selama ini kita tak memandang bulan yang sama? Maksudku.. kau selalu suka memandang bulan, sementara aku selama ini di sampingmu kadang menatap bintang, kadang melihat lampu di sisi jalan, dan seringkali aku memandang...."

Dia menghentikan ucapannya. Wajahnya memerah. Sadar aku menatapnya, dia menutup wajahnya dengan tangan.

"Seringkali memandang apa?"

Dia menggeleng. Tangannya masih menutupi wajah. Aku tertawa. Kuacak-acak rambutnya.

"Bagiku tak masalah bilapun kita tak memandang bulan yang sama. Cukuplah kau buatkan aku secangkir kopi, duduk di sampingku, temani aku melihat bulan sementara kamu memandang apapun, entah apa saja yang kamu suka."

Dia membuka wajahnya. Rona merah masih tampak di sana.

"Seperti... memandang kamu misalnya?"

Aku tertawa.

"Ya, memandang aku, misalnya."

"Tak masalah?"

"Tak masalah." Aku mengangguk mantap.

"Kalau begitu teruskan."

"Teruskan apa?"

"Teruskan memandang bulan."

"Ini sedang kulakukan."

Dia tertawa.

"Tidak, kau sedang menatapku."

"Tidak, aku sedang memandang benda bulat bercahaya serupa bulan di matamu. Diamlah, aku suka memandangnya."

Kali ini dia tersenyum lalu balas menatapku.

"Yang mengedip duluan kalah." Katanya.

"Itu permainan lama. Membosankan. Bagaimana kalau... yang jatuh cinta duluan kalah?"

Wajahnya kembali merona dalam merah. Dia diam. Aku mendekatkan diri ke arahnya. Ke arah bibirnya tepatnya. Lalu mengecupnya pelan.

"Aku kalah.." bisikku.

Jumat, 17 Februari 2017

Bocor!

Jangan pernah ceritakan rahasia kalian pada bocah yang tingginya bahkan buat nyalain lampu aja masih kudu pake bantuan sapu buat mencet saklarnya. Sekali lagi saya tegaskan, jangan! Sekali lagi.. tapi ngga ah, ntar kayak iklan mastin diulang-ulang.

Kenapa jangan?

Karena bocornya Allahuakbar kayak gayung love yang dasar permukaannya udah retak. Air yang ketampung di sana buyar semua brecetan. Nah macam itu!

Contoh nyatanya ponakanku sendiri noh. Umur 6 tahun. Zodiak cancer. Golongan darah entah apa, tapi yang jelas bukan golongan karya. Hobi kepoin aku lagi watsapan sama siapa. Kalau lagi watsapannya sama si mas calon masa depan, langsung heboh ngeledek cie-ciean. Gitulah.

Njut.

Jadi mamaku sebentar lagi ulang tahun. Diam-diam aku punya rencana untuk beliin beliau hadiah tas buat kejutan. Browsinglah aku nyari-nyari tas bagus. Dan yang utama murah. Maklumi, faktor tengah bulan. Hidup ke depan sampai akhir bulan masih panjang.

Lagi browsing-browsing, datanglah bocah yang kayaknya di masa depan ada bakat jadi ibu-ibu rumpi bermarkas gerobak kang sayur, memandang layar hape dengan kepo.

"Wo mau beli tas buat Mamah ya?"

"Iya, kan Mamah bentar lagi ulang tahun."

"MAMAAAAAHH, UWO MAU BELIIN MAMA TAS BUAT HADIAH ULANG TAHUUUUN!!"

Mamfus.

Tiba-tiba dia berseru dengan lantangnya. Sebelum aku berhasil bekep mulutnya pake kepala chasan, Mamah keburu dateng sambil senyum-senyum.

"Oh mau beliin Mamah tas? Haduuh, coba liat yang kayak gimana."

Hhhh.

Pasrah, aku menyodorkan hape ke Mamah sambil menatap ponakanku dengan tatapan bermakna "dasar-bocah-mulut-plafon-item-rembes-kutambal-kau-pake-no-drop-cat-pelapis-anti-bocor".

"Kok beliinnya yang gini sih? Ah Mamah ngga suka yang model gini. Yang lain ah Mamah cari sendiri."

Sementara Mamah browsing sendiri, dalam hati aku sibuk berdoa, semoga tas yang Mamah suka ngga bikin aku harus puasa Senin Selasa Rabu Kamis sampai gajian berikutnya.

"Nah yang ini bagus nih! Ini aja!"

Mamah menunjukan layar hape yang sedang menampakan gambar tas ke arahku. Masa bodo dengan modelnya, mataku langsung auto fokus ke harganya yang ternyata..

Over budget sodara sodara.....

Ya Allah, hamba-Mu pasrah Ya Allah, yang terjadi, terjadilah...

Selasa, 07 Februari 2017

A Letter for U

Aku cinta kamu.

Tapi terlambat.

Maafkan.

Aku seharusnya cintai kamu dari dulu.

Sedari awal harusnya aku bisa melakukan sesuatu, apapun, entah apa, asalkan nyata dan terasa bagimu kalau aku cinta kamu.

Tapi terlambat.

Maafkan.

Aku ngga memperlakukan dan mencintaimu dengan baik.

Yang kulakukan selalu memuaskan keinginanku sendiri tanpa memikirkan kamu sedikitpun.

Aku memilih-milih makanan semauku, yang kebanyakan berlemak, berminyak, dan bergula.

Mecin terutama.

Kamu tau sendiri aku penikmat mecin garis keras.

Maafkan.

Aku ngga memberi kamu serat yang cukup.

Boro-boro yakult dua kali sehari, minum air pun sedikit.

Yang kuberikan selalu yang memberatkanmu, yang membuatmu bekerja lebih keras setiap hari.

Aku ngga menyalahkan kalau akhirnya kamu lelah.

Usus mana yang ngga lelah mencerna sampah-sampah ngga sehat yang kumakan setiap hari?

Kamu lelah dan butuh pertolongan.

Maafkan aku yang terlambat menyadarinya.

Izinkan aku memperbaiki ini.

Izinkan aku mencintaimu dengan baik kali ini.

Dan nyeri usus buntu ini akan kita lewati bersama.

Dariku untuk usus.