Pages

Jumat, 26 Februari 2016

Titik Dua Kurung Tutup

Aku selalu suka melihat dia tersenyum.

Senyumnya, lengkung terindah di dunia, mengalahkan pesona lengkung pelangi dan bulan sabit. Di duniaku paling tidak.

Senyumnya, serupa candu. Mengadiksi, tak kenal cukup. Menghasut semua sel, syaraf, organ, hingga seluruh pikiranku untuk berteriak "Lagi! Lagi! Lagi!", layaknya penonton konser yang riuh karena euforia yang belum habis.

Senyumnya, seperti gas helium yang dipompa tukang balon ke dalam paru-paruku, memenuhi isinya hingga gembung mengembang. Membawa tubuhku melayang, naik, dan terus naik hingga kepalaku terbentur langit-langit atap.

Senyumnya, semacam pengingat, seperti lembar post it yang tertempel pada layar komputer. Mengingatkan aku, bahwa di antara hal-hal buruk yang berlimpahan di dunia, ternyata Tuhan masih menyempatkan waktu untuk menciptakan hal-hal indah.

Aku selalu suka melihat dia tersenyum. Tapi yang lebih aku suka lagi, menjadi yang ada di balik layar, yang menggerakan tuas senyumnya.

(Serpong, 28 Februari 2015)

Selasa, 23 Februari 2016

Aku, si Tukang Iri

Aku iri pada pulpen yang kau pasang namamu rekat-rekat, yang kau tegaskan sebagai kepunyaanmu dan kau takutkan akan hilang berpindah tangan pada yang lain.

Aku iri pada topi sekolah di hari Senin yang selalu kau cari-cari dengan panik bila hadirnya tak nampak, karena aku ingin menjadi apapun yang saat aku ditemukan kamu merasa senang.

Aku iri pada soal ulangan yang bisa lama kau pandang lekat-lekat, yang menjadi saksi dari wajahmu yang perlahan berkerut saat mencoba mengingat-ngingat apa yang kau pelajari semalam, lalu berubah binar saat jawabannya kau temukan dalam memori kepala.

Aku iri pada meja yang selalu kau jadikan sandaran tangan dan kepala setiap kali kantukmu datang di tengah pelajaran. Iri sekali. Dengan mudahnya dia rasakan apa yang selama ini selalu bahuku dambakan.

Ah, aku iri pada semuanya!

Aku iri pada angin yang selalu kau izinkan mengacak-ngacak rambutmu dengan seenaknya tanpa malu-malu.

Aku iri pada sajadah yang selalu kau sentuhkan dengan kening sambil kau bisikkan doa-doamu paling tidak lima kali dalam sehari.

Aku iri pada earphone yang menemanimu menyenandungkan lagu-lagu kesukaanmu.

Sungguh aku iri atas apa yang mereka bisa lakukan. Karena aku tidak bisa.


(Maret, 2016)
Minggu, 14 Februari 2016

Waktu

Waktu memang begitu, membatu ketika merindu, melesat laju ketika tak ingin dia berlalu.

Waktu memang begitu, tak bisa diminta menunggu, pun diajak terburu-buru.

Waktu memang seperti itu..

(Kramat Raya, 15 Februari 2016)

Senin, 08 Februari 2016

Cakap Tentang Cinta

"Sayang?"

"Hmm?"

"Menurut kamu cinta itu apa?"

"Eh, apa?"

"Menurut kamu cinta itu apa?"

"Kenapa kok kamu tiba-tiba nanya gitu?"

"Ya.. ngga papa, iseng aja."

"Yeeee, kalau iseng mah mending kamu isi TTS gih, terus kirimin hasilnya. Lumayan, iseng iseng berhadiah."

"Iiiiih! Kamu nyebelin!"

"Aduh, aduh, ampun! Cubitan kamu naik level kayaknya ya, makin pedes."

"Jawab makanya yang bener, atau aku cubit lagi nih!"

"Hahaha, kamu sih, ditanya kenapa jawabnya iseng doang."

"Yaa... aku pengen tau aja, kalau menurut kamu cinta itu apa?"

"Hmm.. cinta ya.. apa ya..

Kalau dideskripsiin agak susah sih..

Tapi tiap denger kata cinta, entah kenapa ada hal yang tiba-tiba aja terlintas di pikiran aku."

"Oya? Apa itu?"

"Hujyan, ojyek, becyek."

"Kamu ngeselin banget tau nggaaaaaaaa!!!!!"

"Adududuh, ampun, ampun!! Itu tangan apa tang sih, nyubit pedes banget!"

"Kamu juga, orang apa bumbu pecel sih, ngegemesin minta diulek tau ngga!"

"Hahaha, gurih gurih nikmat dong."

"Bodo ah, bweeeeek!"

"Hahaha, iya iya, aku jawab nih. Cinta ya.. hmm.. jujur aku ngga terlalu ngerti sih apa itu cinta."

"Yah, gitu.."

"Haha beneran, aku ngga terlalu ngerti cinta itu apa."

"Berarti yang selama ini kamu rasain sama aku kamu sebut apa? Selama ini kamu bertahan sama aku karena apa?"

"Apa ya, ya iseng aja, daripada jomblo kan, ehehe.."

"Bodo amat! Auk ah, ngeselin!!"

"Ahaha, dih, jelek banget manyun gitu..

Yah, mungkin emang aku ngga terlalu ngerti apa itu cinta, tapi aku ngerti dengan baik sinyal-sinyal yang dipancarkan Tuhan."

"Sinyal?"

"Iya, sinyal..

Jadi lewat perantara semesta, Tuhan mengirim sinyal-sinyal yang mengandung arti..

Sinyal yang gelombangnya berhasil ditangkap oleh hati, dan artinya aku mengerti dengan baik."

"Sinyal berupa apa?"

"Banyak. Debaran di jantung, bibir yang senyum-senyum mandangin pesan masuk, rindu kalau ngga ketemu, banyak deh! Itu, sinyal-sinyal yang dikirim Tuhan."

"Terus, apa arti sinyalnya?"

"Arti sinyalnya?

Artinya..

Kata Dia, kamu layak untuk aku perjuangin.."

"..."

"Kata Dia, masa depan bersama kamu, layak untuk dijalanin.."

"..."

"Kata Dia, waktu menua bersama kamu, layak untuk dilewatin.."

"..."

"Itu yang aku ngerti."

"..."

"Dan karena itu, aku memilih kamu.."

"... hiks..."

"Hei, kok kamu nangis?"

"Ngga, hiks, aku ngga nangis kok, hiks.."

"Terus itu apa dong, air cucuran atap yang jatuh ke pipi?"

"Hiks.. ini sinyal tau, buat kamu.."

"Ooo, apa arti sinyalnya?"

"Arti sinyalnya?

Katanya sama kamu, aku bahagia..

Terima kasih selama ini udah perjuangin aku. Perjuangin kita."

"Ooo, aku kira artinya kamu kalau nangis tambah jelek, hidungnya jadi merah gitu tuh."

"KAMU NGESELIN BANGET SIH, HIIIIIH!!!!!"

"WAHAHAHAA, ADUDUDUDUH, AMPUUUUN!!"