Pages

Sabtu, 31 Juli 2021

Untukku Atau Mungkin Untukmu

Untuk yang sedang tidak baik baik saja

Yang sedang lupa rasanya gembira

Yang sesak karena adanya beban dalam dada

Yang senyumnya tak bisa terulas kecuali dengan paksa

Yang berkali-kali harus menarik napas demi sedikit rasa lega yang sementara

Yang bersusah payah menahan laju air mata

Yang sengaja menyepi sendiri agar sedihnya tak terlihat siapa-siapa

Tidak apa-apa

Luapkan saja getirmu sepuasnya

Duka bukan dosa

Air mata bukan hal nista

Siapa bilang kita harus selalu bahagia?

Sedih menjadikan kita sebenar-benarnya manusia

Manusia yang punya hati untuk merasa


(Dalam kereta menuju pulang, 30 Juli 2021)


Senin, 28 Desember 2020

Sumpah, Nyesel!

Petttt!

Suasana mendadak gelap. Semua perangkat yang bersumber energi listrik tiba-tiba meregang nyawa. Mati.

"Aaaa, file gue belum disave!!!"

"Aaaa, hape gue lowbat belum dichas!!!"

"Aaaa, filmnya mau mulai ya?"

"Lu kata bioskop woiii!!!"

Hari itu, pemadaman listrik menimpa sebagian besar wilayah Jakarta, termasuk kantorku. Berhubung hampir semua aktifitas kerja di lantai tiga dan empat menggunakan komputer, maka mati listrik berarti mati gaya. Di kantor ada jenset sih, tapi masih dalam bentuk rencana, jadi belum bisa dipake. Ngga banyak yang bisa dilakukan di tengah ruangan gelap dan perangkat kerja yang ngga bisa nyala selain beberes dokumen, main tebak bayangan dilatari senter hape, atau mengadakan doa bersama semoga teknisi PLN bergerak cepat.

Ngga berapa lama, telepon di ruanganku bunyi.

"Halo?" Aku mengangkat telepon.

"Sita, Sita, ke lantai tiga sini, Mami lagi cerita serem!" Terdengar suara Dini, temanku penghuni lantai tiga. Mami itu senior manajer lantai tiga dan lantai empat. Bisa dibilang kepala suku kami. Sesepuh. Ketua geng. Ibu kita. Kalau Ibu kota itu Jakarta.

"Iya?? Waaaa, nanti aku turun deh!" Kataku bersemangat. Aku memang punya ketertarikan dengan cerita-cerita mistis. Kombinasi yang aneh sebenernya, gampang ketakutan tapi doyan cerita mistis. Biarlah, seengganya ngga seaneh orang yang getol ngajakin ngumpul tapi pas hari H tiba-tiba bilang ngga bisa dateng di last minute. Sumpah, itu aneh banget.

Di ruangan lantai tiga, nampak teman-teman yang lain sudah duduk melingkar mengelilingi Mami di tengah-tengah, macam anak pramuka lagi ngelilingin api unggun di acara Persami. Suasana mencekam, gelap dan sunyi. Di ruangan ini ngga ada jendela yang mengarah langsung ke luar, maka ketika listrik mati, lagi melek pun rasanya kayak lagi merem saking gelapnya. Untunglah ada sedikit remang cahaya dari layar hape.

"Sini Sita, duduk sini!" Dini menyilakan aku duduk di sebelahnya. Aku duduk, ikut menyimak Mami yang sedang bercerita tentang gangguan-gangguan mistis di rumahnya. 

Mami bercerita dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan. Bikin indeks keseraman ruangan naik melebihi ambang batas normal.

"..pembantu Mami sering tuh digangguin. Pernah waktu itu dia lagi mandi, terus tiba-tiba ada suara orang bisik-bisik di telinganya. Was wes wos gitu.."

Hening. Semua nampak serius menyimak Mami.

"Adek Mami malah ngeliat, sosoknya gede, berbulu, badannya kurus sampai bentuk tulangnya keliatan. Pas adek Mami lagi tidur, itu makhluk iseng ngedudukin adek Mami!"

Di tengah cahaya yang temaram, tampak raut-raut wajah yang menegang. Beberapa mencengkeram lengan teman sebelahnya.

"Bokapnya Mami juga. Lagi di dapur. Tiba-tiba aja muncul p***ng di depannya. Ngga cuma satu lagi. Tiga!!!!"

(Catatan : btw paham kan yah p***ng yang aku sensor maksudnya apa. Yang jelas bukan pisang. Di lingkungan teman-temanku, ada kecenderungan untuk menyamarkan nama-nama penghuni dunia sana karena kami manusia-manusia bernyali sebesar upil dibelah tujuh punya ketakutan untuk menyebut namanya. Takut mereka berasa dipanggil. Awalnya p***ng kita samarkan jadi Mr. P, tapi temanku bilang sebutan Mr. P udah dipake duluan sama Dokter Boyke buat hal lain. Takut ambigu. Jadi ya sudah, kusensor aja.)

Macam api yang makin dikipas makin besar, serupa itulah Mami bercerita. Wajah ngeri tegang penyimaknya membuat cerita Mami makin lama makin seru dan dramatis, bikin bulu kuduk berdiri lebih tegak dari pasukan pengibar bendera pas tujuh belasan di Istana Negara.

Mendengar cerita Mami, perasaanku lama kelamaan mulai ngga enak. Aku bergidik,  ngga nyaman dengan suasana di sini. Demi kesehatan jiwa dan keselamatan rohaniku, akhirnya aku putuskan untuk kabur, kembali ke ruanganku sendiri.

Malamnya, aku nyesel karena ninggalin cerita Mami. Nyesel. Kenapa ngga ninggalin lebih awal????? Sensasi ngerinya masih tertinggal di perasaan. Mensugesti suasana sehingga aura kamar serasa jadi lebih mencekam. Malam jadi meresahkan. Rasanya ingin cepat-cepat jatuh tidur biar cepat-cepat malam berubah pagi. Tapi yang terjadi justru kebalikannya. Aku ngga bisa tidur.

Aku ngelihat jam. Udah hampir jam setengah 1. Ngga bisa gini terus. Besok aku masih harus bangun subuh dan kerja. Aku harus tidur. Maka demi kantung mata tidak menebal macam bapak mantan presiden yang sudah mengeluarkan banyak album, aku memutuskan untuk ngungsi tidur. Aku bawa selimut dan hape lalu pindah tidur sama Mamah. Hape aku taro di meja deket kasur supaya kedengeran kalau alarmnya bunyi. Ngga berapa lama, akhirnya aku bisa tidur.

"...andaikan detik itu (aaaa) kan bergulir kembali (aaaa).."

Sayup-sayup di tengah tidurku aku mendengar suara lantunan lagu Ada Band. Aku kebangun dan ngelihat jam. Jam 3 lebih. Jam segini suara lagu dari mana sih? Orang makan krabby patty jam 3 pagi aku bisa maklum, lah nyetel musik?

Awalnya aku kira itu suara tivi yang sedang ditonton kakak iparku. Dia memang suka kebangun larut malam dan nonton tivi sebentar sebelum lanjut tidur lagi. Tapi kayaknya bukan dari tivi. Suaranya kenceng soalnya, deket banget. Aku pun coba mencari dari mana sumber suara.

Ketemu.

Aku menelan ludah.

Suaranya berasal dari hapeku yang tergeletak manja di meja. Iya, dari hape. Hape yang ngga berbunyi sama sekali sebelum aku tidur. Hape yang tiba-tiba mp3-nya nyala sendiri jam 3 pagi. Iya. Mp3. Nyala. Sendiri.

MP3. NYALA. SENDIRI.

Sialan. 

Dari sekian banyak peserta uji nyali yang ikut kenapa isengnya ke mari sih??

Minggu, 29 November 2020

Sambat Akhir Pekan

Ngga tau yah, apa karena belum terbiasa sama perubahan ritme aktivitas yang tadinya selaw jadi padat sehingga tubuh mendadak syok, atau karena perubahan jadwal dan kondisi KRL yang biasanya pulang pergi selalu dapet duduk sekarang merasakan durasi berdiri lebih lama dari upacara bendera, atau simple karena faktor umur, mengingat usia sekarang sudah lewat masa jayanya maka sudah jauh dari kata prima, jadinya sekarang setiap pulang lelahnya berasa banget, kayak badan isinya 99% air, 1% lelah.

Kadang saking capeknya, ketika sedang bengong di dalam kereta (berdiri, tentu) tiba-tiba saja muncul keinginan buat nangis. Ketahan malu aja jadi ngga sampai ngalir. Sampai rumah selalu dengan kaki nyut-nyutan, pundak pegal, energi merah, tenaga drop, muka kusut, dan perut kosong. Rasanya pengen langsung baring ke kasur, bebersih diri cukup sekadarnya, skinkeran udahlah skip, makan pun kalau bisa lewat infus aja biar bisa sambil tidur. Ah lemah banget staminaku sekarang.

Aku mengeluhkan lelah bukan berarti aku ngga bersyukur. Aku bersyukur sekali akhirnya bisa dapat kerja lagi setelah nganggur sekian lama. Senang, saldo rekeningku akan rutin terisi lagi. Bisa membantu perputaran ekonomi negara terutama para UMKM di bidang food and beverage dengan rutin terlibat sebagai konsumen dalam transaksi jual beli alias jajan. Suara yang berseru "Misi, paket" pun akan sering terdengar lagi dari depan rumah. Malaikat di sebelah jadi saksi berapa banyak aku mengucap syukur. Tapi capek ya capek. Lelah ya iya. Letih ya jangan ditanya. Dibilang ngga bersyukur, hei, tahan dulu bung! Teman anda ngeluh capek habis lari keliling GBK terus anda balas dengan "Ngga bersyukur banget lu punya kaki masih bisa dipake lari!" Wow tiba-tiba saja teman anda punya grup WA yang ngga ada andanya.

Bersyukur itu perkara hati. Capek ini persoalan jasmani. Jaka sambung bawa payung. Ngga nyambung hyung. Beda server. Buktinya, segala kelelahan ini sama sekali ngga membuatku merutuki nasib atau menyalahkan Tuhan. Capeknya cuman butuh istirahat kok. Cukup. Ya paling sama butuh sambat-sambat dikit. Makanya saya tulis ini tujuannya ya buat sambat, biar uneg-unegnya ngga mendem di kepala jadi uban. Biar rada plong gitu.

Dan sekarang setelah cukup istirahat dan puas sambat mah mind, body, and soul sudah segar lagi. Baterai hijau penuh. Semangat full terisi. Siap menyambut besok untuk berjibaku sama rutinitas harian lagi. Yok bisa yok, demi isi keranjang belanja yang butuh dicheckout.
Kamis, 22 Oktober 2020

Coretan Lewat Malam

Mungkin kelak akan ada hari ketika kita lupa kita pernah bahagia. Mungkin juga nanti kita dihadapkan pada keadaan dimana kita tak punya waktu untuk mengingat alasan kita saling cinta. Tidak ada yang tau nanti akan seperti apa. Hari ini mati-matian berjuang agar bisa bersama, besok bisa jadi yang diinginkan adalah merentangkan jarak sejauh-jauhnya. Tuhan punya rencananya sendiri untuk menentukan akhir sebuah cerita. Maka hari ini mari kita nikmati bahagia tanpa perlu peduli besok akan seperti apa. Tuhan boleh menentukan, namun kita selalu bisa mengupayakan. Hari ini aku sayang kamu. Besok kita upayakan lagi ya.

(Serpong, 23 Oktober 2020)
Selasa, 22 September 2020

About Happiness

Sekian banyak alasan untuk berbahagia, dan dia termasuk salah satunya. Dia jauh dari sempurna. Selera humornya terutama. Humornya lebih cetek dari kolam renang khusus balita. Aku suka sekali dengan plesetan dan permainan kata, namun baginya itu lebih mengundang kernyit di dahi ketimbang rasa ingin tertawa. Setiap kali kulontarkan tebakan yang kurasa lucu, respon tertingginya hanya menyungging senyum dengan terpaksa. 

Ngga hanya selera humornya, selera makannya pun bukan hal yang bisa dibanggakan. Banyak kenikmatan syurgawi yang ngga dia rasakan karena alasan ketidaksukaan. Sate ayam kadang dia lepaskan dulu dari tusukan sebelum disantap karena kulitnya enggan dimakan. Ujung-ujungnya selalu aku yang habiskan. Kulit ayam goreng pun selalu disisihkan. Aku lagi yang makan. Ya aku sih senang-senang aja karena dapet porsi kulit tambahan.

Namun terlepas dari kekurangannya, aku bersyukur pada Tuhan karena dipertemukan dengan dia, lelaki yang ternyata bisa memahami aku jauh lebih baik dibanding dia mengerti kenikmatan kulit ayam atau lucunya plesetan kata. Dia bisa membuat marahku mereda dengan candaan yang ngga diduga. Dia bisa membuatku kembali merasa baik-baik saja ketika hidup sedang sial-sialnya. 

Kadang aku bertanya-tanya, hidup bersama bahagia selamanya seperti yang sering dinarasikan dalam dongeng itu hidup yang seperti apa? Hidup yang isinya senang-senang saja? Hidup yang selalu damai tanpa pertengkaran apa-apa? Apa Pangeran dan Cinderella ngga pernah berantem perkara Cinderella marah masakannya ngga dimakan karena Pangeran lebih milih masakan pelayan istana? Dalam kenyataannya, apa mungkin untuk hidup bersama bahagia selamanya?

Ngga mungkin kayaknya. Bersama dia nanti, aku ngga yakin kami akan menjalani hidup bahagia selamanya. Akan ada hari dimana kami ngga bahagia, saling mendiamkan tanpa tegur sapa atau bahkan berbicara tanpa ada yang mau mengalah dan saling menaikan nada bicara. Ngga menutup kemungkinan juga mungkin nanti akan muncul keinginan untuk bisa tuker tambah dia dengan hape oppo seken versi lama. Sekarang dan nanti, kami ngga akan selalu bahagia. Tapi ya ngga papa. Emang seperti itu realita. Justru kalau tiap hari isinya bahagia, aku curiga secara ngga sadar aku ada di bawah pengaruh psikotropika.

Hidup dengan dia nanti mungkin ngga selalu bahagia, tapi aku percaya sepanjang aku bersamanya, kebahagiaanku akan terus dia perjuangkan semampunya. Sekuatnya. Sebisanya. Sepenuhnya daya. Begitu pun aku sebaliknya. 

Hidup dengan dia nanti mungkin ngga selalu bahagia, tapi akan terasa lebih ngga bahagia lagi kalau dia ngga ada. Hidup bersama bahagia selamanya dalam kenyataan mungkin bukan tentang hidup yang seluruhnya diisi sukacita, tapi hidup yang terasa lebih hampa bila ngga dilalui bersama. Maka meski selera makannya lemah dan humornya payah, bisa kukatakan dengan yakin kalau dengan dia, aku bahagia. Lihat timbunan di leher dan pinggangku kalau ngga percaya.

-22 September 2020-

Minggu, 20 September 2020

Favorite Movie

Aku ngga suka film City of Angel. Rasa kesal yang muncul setelah menontonnya tertinggal cukup lama. Bikin sebel. Dalam hatiku ngga bisa berhenti misuh-misuh. Apa-apaan ending macam itu. Penulis skenarionya ini apa nilai ulangan PPKn-nya di bawah standar ya, kok bisa bikin cerita yang melenceng dari nilai tenggang rasa. Jahat dan ngeselin sekali ceritanya. 

Film ini menceritakan tentang malaikat (diperankan Nicolas Cage) yang jatuh cinta sama manusia (si Meg Ryan). Detailnya aku ngga terlalu ingat karena ngga sudi nonton lagi. Pokoknya setelah melalui pergolakan dan pertentangan, si malaikat pun memutuskan untuk jadi manusia demi pujaan hatinya. Bhay kehidupan syurgawi dan hidup abadi. Tapi baru juga sehari, baru aja sebentar mereka bisa sama-sama, Meg Ryan, pujaan hatinya meninggal. Meninggalnya pun menurutku konyol sekali. Meg Ryan yang bersepeda tanpa helm dan tanpa pengaman apa-apa, berkendara secara ngga fokus karena bahagia terlena bunga-bunga asmara, banyak gaya di sepeda, meleng ngga lihat jalan, kemudian meninggal karena ketabrak entah apa aku lupa, truk atau mobil.

Ingin menghujat.

KESEL NGGA SIH??? 

Cinta bikin buta aku udah tau. Tapi bikin sembrono sampai melalaikan keselamatan berkendara itu hal baru buatku. Teledor sampai celaka gitu lho, ya Allah, ngingetnya lagi sekarang pun aku masih kesal. Pengen noyor. MAKANYA JALAN YANG BENER, LIHAT DEPAN, JANGAN MELENG. HIH 

Dari City of Angels aku sadar kalau ternyata aku ngga suka dan ngga bisa nonton film-film sedih. Emosinya kebawa lama ke perasaan. Bikin moodku jadi ngga enak. Maka aku lebih condong pada film yang bergenre aksi, komedi, fantasi, dan terutama animasi. Salah satu film kesayangan yang membuat perasaanku dipenuhi rasa senang dan dengan suka hati kutonton lebih dari sekali adalah Klaus. 

Bercerita tentang Jesper, anak petinggi kantor pos yang akhlaknya kurang terpuji. Mentang-mentang ayahnya punya jabatan, dia jadi jumawa dan malas. Ayahnya murka dan mengirim Jesper ke suatu daerah terpencil untuk jadi petugas pos di sana. Jesper diberi target untuk mengirim 6000 pucuk surat dalam setahun. Kalau target gagal terpenuhi, ia terancam dicoret dari KK oleh ayahnya dan harus mengucapkan dadah pada kekayaan juga harta warisan. 

Smeerensburg, daerah tempat Jesper dikirim bukanlah daerah pemukiman normal pada umumnya dimana setiap warga akur bertetangga kumpul pengajian tiap minggu. Di sana terdapat pertikaian dua keluarga besar yang sudah berlangsung panjang, yang mengakibatkan suasana kampung jadi sangat ngga kondusif. Dua kubu selalu panas. Ribut mulu kerjaannya, kalau sehari ngga berantem kena panas dalem kayaknya. Ngga ada tukang pos yang bertahan lama di sana, semuanya balik kanan bubar jalan. Target 6000 surat per tahun sungguhlah berat sekali bagi Jesper. Namun dari situlah cerita berjalan.

Dah lah film ini terlalu bagus untuk hanya diceritakan. Nontonlah. Rasakan senyum sukacita yang tersungging tiba-tiba dan rasa hangat yang perlahan menyeruak di dada. Jangan lupa tetap ingat aturan berkendara. 

-20 September 2020-



Sabtu, 19 September 2020

Single and Happy

Aku punya teman, sebut saja T, untuk perihal asmara dia ngga bisa sendiri. Selalu butuh pasangan atau setidaknya teman bercerita untuk menemani. Dia dekat dengan keluarganya. Teman pun banyak. Namun tetap aja rasanya beda katanya. Ada ruang dalam hatinya yang butuh diisi, di luar ruang untuk teman dan keluarga. Kadang dalam satu waktu dia dekat dengan banyak orang. Aku selaku teman dekatnya seringkali kepusingan. Kalau dia sedang cerita, yang dia ceritain ini laki yang mana lagi, yang punya laundry, yang kenal dari game, apa yang match di biro jodoh?

Ada lagi temanku, si I, yang dari lahir sampai sekarang tulisan ini diketik, status asmaranya masih sama. Single. Berulang kali kami selaku temannya mencoba bergerak dalam misi percomblangan, tapi semuanya gagal. Ada yang deketin dianya ngga acuh. Ada yang chat dibalas sekadarnya. Ada yang ngasih pisang nugget kami yang girang dan makan banyak. Sampai akhirnya nyerah lah kita. Capek. Dianya terlihat belum ada minat ke arah sana. Berkebalikan dengan T, I belum menyiapkan ruang lain selain untuk teman dan keluarga. 

Dua-duanya berbeda. Dua-duanya punya pandangan yang berlainan. Tapi sejauh yang kulihat, dua-duanya punya kesamaan. Mereka bahagia. T terlihat senang bercerita tentang kencannya semalam menyusuri pemandangan Jakarta malam dengan cem-cemannya entah yang mana lagi. I pun setiap hari selalu gembira, menyanyikan lagu idola kesukaannya sambil joget-joget. 

Punya pasangan emang bahagia, tapi rasanya terlalu picik kalau akhirnya dianggap jadi satu-satunya syarat untuk berbahagia. Bukankah bahagia punya banyak jalan untuk datang? Bisa dari lulus kuliah tepat waktu, dibawakan kue sepulang Mama dari pasar, diterima kerja setelah lama menganggur, atau idola favorit mengeluarkan video musik baru. Berpasangan dan bahagia? Bisa. Single dan bahagia? Bisa juga. Menjatuhkan orang dan bahagia? Itu yang bahaya. 

-19 September 2020-