Pages

Selasa, 28 Juni 2016

Chapter 1

Triing

Selintas bunyi muncul dari ponselku yang sedang tersambung dengan kabel charger. Dengan malas, aku memundurkan kursi yang tadinya rapat menghadap laptop di atas meja belajar. Tanpa bangkit dari kursi, aku melaju menggerakan roda kursi ke arah ponselku sedang dichas. Bagi pemalas profesional kelas kakap sepertiku, kursi dengan roda-roda sungguh suatu penemuan yang sangat bermanfaat. Siapapun yang menciptakan, doaku untukmu semoga dimasukan ke dalam surga! 

Kutengok ponselku. Logo line beratas namakan Kak Kinan tampak tertera di layar.

"Bin, bilang Ibu aku pulangnya telat ya, mau makan malem di luar. Terima kasih adikku yang cantik, imut-imut, lucu, dan menggemaskan."

Kucerna sejenak isi pesan Kak Kinan sebelum mengetik pesan balasan.

"Sama Mas Angga?"

Tak lama ponselku berbunyi lagi.

"Lah ya tentu lah, malem minggu tjoy.."

Aku tersentak kaget. Astaga, sekarang malam mingggu?

"Wah, malem minggu toh sekarang? Pantesan.."

"Pantesan apa?"

"Pantesan bukan malem jumat."

Sebuah stiker tangan menepuk jidat muncul di layar ponsel.

"Duh, kelamaan pacaran sama laptop sih, radiasinya ganggu kinerja otak kan. Coba sana pacaran sama manusia gih."

Jleb. Aw, jantungku. Siapa yang menancapkan paku ke situ?

"Sori, mau fokus berkarir jadi penulis dulu!"

"Duile, penulis, bikin cerita cinta ratusan jadi, cerita cinta sendiri satu aja ngga jadi jadi."

Ugh!
Tolong, siapapun, panggil UGD! Jantungku butuh masuk UGD, luka tancapannya makin parah!

"Kak, tadi aku ke toko buku ada majalah Hidayah. Judulnya 'Menghina Jomlo, Mati Terkubur Tanah Sengketa'. Serem ya."

"Ih iya, serem ya. Aku lihatnya tadi majalah mistis, judulnya 'Makhluk Goib Berpesta di Hati Jomlo Karena Lama Tak Berpenghuni'. Hiii."

Kakak bumbu sambal! Minta diulek! Errrrhh! Sebal!

Kubalas pesan Kak Kinan dengan emot menjulur lidah, meletakan ponsel lagi, lalu menggelosor kembali ke meja belajar. Kutatap layar laptop di depanku yang sedang menampilkan Microsoft Word dengan baris-barisan kata di dalamnya.

Aku menghela napas. Binar, 23 tahun, jomlo. Malam minggu dilewati bersama laptop, mengetik cerita yang kuharap kelak akan diterima penerbit, dicetak, dibukukan, dipajang di rak display toko buku yang bertuliskan best seller, diangkat ke layar lebar, dan ditonton oleh lebih dari dua juta penonton.

Namun jauh di lubuk hati, diam-diam aku punya harapan lain di luar cita citaku menjadi penulis. Harapan semoga aku punya kisah cinta yang tak kalah istimewa dari tokoh rekaan dalam cerita yang kutulis. Ya masa penulis kalah sama tokoh rekaannya kan? Sedih amat..

Bersambung. Dilanjut lagi kalau mood.
Minggu, 12 Juni 2016

Andai

Andai suatu hari kita terpisah, kuharap yang memisahkan kita adalah pembatas yang menjadi pemisah antara shaf lelaki dan perempuan.

Andai suatu hari kamu kusakiti, semoga tak lebih dari tendangan yang tak sadar kulakukan karena gaya tidurku yang buruk.

Andai suatu hari aku meninggalkanmu, kupastikan bukan karena aku pergi menjauh, tapi karena kantuk yang tak bisa kutahan maka kamu kutinggalkan sendiri menonton sepak bola dini hari.

Andai suatu hari hatiku terbagi untuk lelaki lain, yakinlah bukan pada yang lain selain lelaki kecil dengan rambut serupa kamu, lelaki yang kelak darimu dia belajar menerbangkan layangannya yang pertama.

(Serpong, 14 Juni 2016)