Pages

Selasa, 22 September 2020

About Happiness

Sekian banyak alasan untuk berbahagia, dan dia termasuk salah satunya. Dia jauh dari sempurna. Selera humornya terutama. Humornya lebih cetek dari kolam renang khusus balita. Aku suka sekali dengan plesetan dan permainan kata, namun baginya itu lebih mengundang kernyit di dahi ketimbang rasa ingin tertawa. Setiap kali kulontarkan tebakan yang kurasa lucu, respon tertingginya hanya menyungging senyum dengan terpaksa. 

Ngga hanya selera humornya, selera makannya pun bukan hal yang bisa dibanggakan. Banyak kenikmatan syurgawi yang ngga dia rasakan karena alasan ketidaksukaan. Sate ayam kadang dia lepaskan dulu dari tusukan sebelum disantap karena kulitnya enggan dimakan. Ujung-ujungnya selalu aku yang habiskan. Kulit ayam goreng pun selalu disisihkan. Aku lagi yang makan. Ya aku sih senang-senang aja karena dapet porsi kulit tambahan.

Namun terlepas dari kekurangannya, aku bersyukur pada Tuhan karena dipertemukan dengan dia, lelaki yang ternyata bisa memahami aku jauh lebih baik dibanding dia mengerti kenikmatan kulit ayam atau lucunya plesetan kata. Dia bisa membuat marahku mereda dengan candaan yang ngga diduga. Dia bisa membuatku kembali merasa baik-baik saja ketika hidup sedang sial-sialnya. 

Kadang aku bertanya-tanya, hidup bersama bahagia selamanya seperti yang sering dinarasikan dalam dongeng itu hidup yang seperti apa? Hidup yang isinya senang-senang saja? Hidup yang selalu damai tanpa pertengkaran apa-apa? Apa Pangeran dan Cinderella ngga pernah berantem perkara Cinderella marah masakannya ngga dimakan karena Pangeran lebih milih masakan pelayan istana? Dalam kenyataannya, apa mungkin untuk hidup bersama bahagia selamanya?

Ngga mungkin kayaknya. Bersama dia nanti, aku ngga yakin kami akan menjalani hidup bahagia selamanya. Akan ada hari dimana kami ngga bahagia, saling mendiamkan tanpa tegur sapa atau bahkan berbicara tanpa ada yang mau mengalah dan saling menaikan nada bicara. Ngga menutup kemungkinan juga mungkin nanti akan muncul keinginan untuk bisa tuker tambah dia dengan hape oppo seken versi lama. Sekarang dan nanti, kami ngga akan selalu bahagia. Tapi ya ngga papa. Emang seperti itu realita. Justru kalau tiap hari isinya bahagia, aku curiga secara ngga sadar aku ada di bawah pengaruh psikotropika.

Hidup dengan dia nanti mungkin ngga selalu bahagia, tapi aku percaya sepanjang aku bersamanya, kebahagiaanku akan terus dia perjuangkan semampunya. Sekuatnya. Sebisanya. Sepenuhnya daya. Begitu pun aku sebaliknya. 

Hidup dengan dia nanti mungkin ngga selalu bahagia, tapi akan terasa lebih ngga bahagia lagi kalau dia ngga ada. Hidup bersama bahagia selamanya dalam kenyataan mungkin bukan tentang hidup yang seluruhnya diisi sukacita, tapi hidup yang terasa lebih hampa bila ngga dilalui bersama. Maka meski selera makannya lemah dan humornya payah, bisa kukatakan dengan yakin kalau dengan dia, aku bahagia. Lihat timbunan di leher dan pinggangku kalau ngga percaya.

-22 September 2020-

Minggu, 20 September 2020

Favorite Movie

Aku ngga suka film City of Angel. Rasa kesal yang muncul setelah menontonnya tertinggal cukup lama. Bikin sebel. Dalam hatiku ngga bisa berhenti misuh-misuh. Apa-apaan ending macam itu. Penulis skenarionya ini apa nilai ulangan PPKn-nya di bawah standar ya, kok bisa bikin cerita yang melenceng dari nilai tenggang rasa. Jahat dan ngeselin sekali ceritanya. 

Film ini menceritakan tentang malaikat (diperankan Nicolas Cage) yang jatuh cinta sama manusia (si Meg Ryan). Detailnya aku ngga terlalu ingat karena ngga sudi nonton lagi. Pokoknya setelah melalui pergolakan dan pertentangan, si malaikat pun memutuskan untuk jadi manusia demi pujaan hatinya. Bhay kehidupan syurgawi dan hidup abadi. Tapi baru juga sehari, baru aja sebentar mereka bisa sama-sama, Meg Ryan, pujaan hatinya meninggal. Meninggalnya pun menurutku konyol sekali. Meg Ryan yang bersepeda tanpa helm dan tanpa pengaman apa-apa, berkendara secara ngga fokus karena bahagia terlena bunga-bunga asmara, banyak gaya di sepeda, meleng ngga lihat jalan, kemudian meninggal karena ketabrak entah apa aku lupa, truk atau mobil.

Ingin menghujat.

KESEL NGGA SIH??? 

Cinta bikin buta aku udah tau. Tapi bikin sembrono sampai melalaikan keselamatan berkendara itu hal baru buatku. Teledor sampai celaka gitu lho, ya Allah, ngingetnya lagi sekarang pun aku masih kesal. Pengen noyor. MAKANYA JALAN YANG BENER, LIHAT DEPAN, JANGAN MELENG. HIH 

Dari City of Angels aku sadar kalau ternyata aku ngga suka dan ngga bisa nonton film-film sedih. Emosinya kebawa lama ke perasaan. Bikin moodku jadi ngga enak. Maka aku lebih condong pada film yang bergenre aksi, komedi, fantasi, dan terutama animasi. Salah satu film kesayangan yang membuat perasaanku dipenuhi rasa senang dan dengan suka hati kutonton lebih dari sekali adalah Klaus. 

Bercerita tentang Jesper, anak petinggi kantor pos yang akhlaknya kurang terpuji. Mentang-mentang ayahnya punya jabatan, dia jadi jumawa dan malas. Ayahnya murka dan mengirim Jesper ke suatu daerah terpencil untuk jadi petugas pos di sana. Jesper diberi target untuk mengirim 6000 pucuk surat dalam setahun. Kalau target gagal terpenuhi, ia terancam dicoret dari KK oleh ayahnya dan harus mengucapkan dadah pada kekayaan juga harta warisan. 

Smeerensburg, daerah tempat Jesper dikirim bukanlah daerah pemukiman normal pada umumnya dimana setiap warga akur bertetangga kumpul pengajian tiap minggu. Di sana terdapat pertikaian dua keluarga besar yang sudah berlangsung panjang, yang mengakibatkan suasana kampung jadi sangat ngga kondusif. Dua kubu selalu panas. Ribut mulu kerjaannya, kalau sehari ngga berantem kena panas dalem kayaknya. Ngga ada tukang pos yang bertahan lama di sana, semuanya balik kanan bubar jalan. Target 6000 surat per tahun sungguhlah berat sekali bagi Jesper. Namun dari situlah cerita berjalan.

Dah lah film ini terlalu bagus untuk hanya diceritakan. Nontonlah. Rasakan senyum sukacita yang tersungging tiba-tiba dan rasa hangat yang perlahan menyeruak di dada. Jangan lupa tetap ingat aturan berkendara. 

-20 September 2020-



Sabtu, 19 September 2020

Single and Happy

Aku punya teman, sebut saja T, untuk perihal asmara dia ngga bisa sendiri. Selalu butuh pasangan atau setidaknya teman bercerita untuk menemani. Dia dekat dengan keluarganya. Teman pun banyak. Namun tetap aja rasanya beda katanya. Ada ruang dalam hatinya yang butuh diisi, di luar ruang untuk teman dan keluarga. Kadang dalam satu waktu dia dekat dengan banyak orang. Aku selaku teman dekatnya seringkali kepusingan. Kalau dia sedang cerita, yang dia ceritain ini laki yang mana lagi, yang punya laundry, yang kenal dari game, apa yang match di biro jodoh?

Ada lagi temanku, si I, yang dari lahir sampai sekarang tulisan ini diketik, status asmaranya masih sama. Single. Berulang kali kami selaku temannya mencoba bergerak dalam misi percomblangan, tapi semuanya gagal. Ada yang deketin dianya ngga acuh. Ada yang chat dibalas sekadarnya. Ada yang ngasih pisang nugget kami yang girang dan makan banyak. Sampai akhirnya nyerah lah kita. Capek. Dianya terlihat belum ada minat ke arah sana. Berkebalikan dengan T, I belum menyiapkan ruang lain selain untuk teman dan keluarga. 

Dua-duanya berbeda. Dua-duanya punya pandangan yang berlainan. Tapi sejauh yang kulihat, dua-duanya punya kesamaan. Mereka bahagia. T terlihat senang bercerita tentang kencannya semalam menyusuri pemandangan Jakarta malam dengan cem-cemannya entah yang mana lagi. I pun setiap hari selalu gembira, menyanyikan lagu idola kesukaannya sambil joget-joget. 

Punya pasangan emang bahagia, tapi rasanya terlalu picik kalau akhirnya dianggap jadi satu-satunya syarat untuk berbahagia. Bukankah bahagia punya banyak jalan untuk datang? Bisa dari lulus kuliah tepat waktu, dibawakan kue sepulang Mama dari pasar, diterima kerja setelah lama menganggur, atau idola favorit mengeluarkan video musik baru. Berpasangan dan bahagia? Bisa. Single dan bahagia? Bisa juga. Menjatuhkan orang dan bahagia? Itu yang bahaya. 

-19 September 2020-
Kamis, 17 September 2020

Places I Want to Visit

Ngga banyak tempat yang sudah aku kunjungi. Aku ngga akan tersinggung kalau ada yang bilang mainku kurang jauh karena ya memang kenyataannya begitu. Keluar negeri baru dua kali. Satu ke Australia, tapi sedikit sekali yang bisa diingat, karena kala itu aku masih pake pampers. Satu lagi ke Bekasi.

Februari lalu, temanku dapet kode potongan harga untuk menginap di Oyo dan Reddoorz. Setelah kami hitung-hitung, ternyata potongannya lumayan. Bukan lumayan lagi, bikin ternganga malah. Kalau dibagi satu kamar berdua, harga kamar standar ngga lebih dari paket double big mac per orangnya. Kami yang tadinya ngga punya wacana ke mana-mana pun tergiur.

Disusunlah rencana. Karena ngga ada tanggal merah dan mustahil cuti rame-rame, kami putuskan ke Bogor aja yang dekat. Ngga terlalu jauh, bisa terjangkau KRL, dan secara geografis udah terhitung luar Jakarta, jadi bisa pamer liburan ke luar kota. Dicarilah penginapan di daerah Bogor yang lokasinya strategis, yang dekat dengan tempat nongki-nongki cantik. Agenda dirancang. Tanggal pun ditetapkan pada akhir Februari.

Ngga berapa lama, berita baik datang. Seorang teman memberi kabar beserta sepucuk undangan. Dia akan menikah. Lokasi acaranya di Tegal. Tanggalnya ngga berselisih jauh dari agenda jalan-jalan yang kami rencanakan. Atas nama pertemanan bagai kepompong, kami pun merombak ulang rencana kami. Jalan-jalannya tetap jadi, hanya tujuannya yang berbelok. Dari Bogor ke Tegal.

Pergi dari Jakarta Sabtu sore, sampai Tegal dini hari, tidur menjelang subuh, pagi menghadiri undangan, sore berangkat pulang. Capek meresap masuk sampai ke sumsum tulang. Hasrat jalan-jalan belum terpuaskan sama sekali karena terkendala waktu yang sempit. Di perjalanan pulang, tercetuslah ajakan untuk jalan-jalan lagi bulan depan, meneruskan rencana kita yang lalu untuk ke Bogor. Tanpa pikir panjang, kami sambut dengan penuh setuju. 

Namun hidup seringkali ngga bisa diduga. Benarlah bahwa manusia hanya punya daya untuk berencana tanpa punya kuasa apa-apa untuk menentukan bagaimana akhirnya. Belum sempat rencana kami terlaksana, pandemi melanda. Terpaksa tertunda entah sampai kapan. Ahli nujum ternama pun rasanya kesulitan membuat perkiraan tepat.

Tempat yang ingin kukunjungi banyak sekali. Lombok, Jogja, Bali, New Zealand, Jepang, Korea Selatan, Inggris, Belanda, dan Islandia. Tapi entah harus menghitung berapa hari lagi dari sekarang, mungkin hingga satuan bulan atau bahkan tahun, saat nanti datang hari ketika pandemi ini selesai sepenuhnya dan bepergian sudah bisa dilakukan dengan leluasa, yang ingin aku lakukan adalah meneruskan lagi rencana dulu untuk jalan-jalan ke Bogor, bersama dengan orang-orang yang sama. Kalau bisa dengan potongan harga yang sama pula.

-17 September 2020-
Rabu, 16 September 2020

Memory

Ngga banyak yang bisa kuingat dari Aki, kakekku. Hanya selintas ingatan-ingatan kabur yang detailnya samar. Mencoba mengingatnya rasanya seperti memperbesar foto ukuran kecil ber-resolusi rendah, semakin coba diperjelas malah semakin pecah. Namun ada satu hal tentangnya yang lekat membekas sampai sekarang. Yaitu permen fox's bening.

Aki dulu selalu menyimpan sekaleng permen fox's bening di lemari buffet paling bawah, sangat terjangkau untuk ukuran anak-anak yang tinggi badannya ngga berselisih banyak dengan panjang guling. Mamaku bilang rasanya terlalu pedas untuk anak-anak, tapi aku suka. Pedasnya bukan pedas cabai yang bikin seuhah berkepanjangan. Pedasnya sejuk dalam mulut. Apalagi kalau setelahnya minum air putih. Serasa minum air dingin. Maka selain buka tutup kulkas, hal yang sering kulakukan di rumah Aki adalah buka tutup lemari buffet mengambil permen. Hal yang sejak pertengahan SD ngga bisa lagi kulakukan karena ngga ada lagi yang menyimpan permen di sana. Tuhan berkata cukup pada hidupnya.

Belasan tahun lewat. Permen fox's masih ada tapi varian beningnya sudah jarang terlihat, digantikan varian warna-warni dengan tambahan perasa buah. Memakannya pun aku sudah ngga sesering dulu, beralih condong pada fresh milk boba. Namun yang ngga akan berubah, permen itu selalu terasosiasikan pada sosok yang sama. Permen itu bagiku bukan lagi sekadar gula-gula biasa, tapi tempat kenangan tersimpan. Sepanjang dia ada, kenangannya aman terjaga. Permen itu selamanya akan jadi pengingat kalau kakekku pernah ada, menyediakan kumpulan rasa senang yang terbungkus dalam kaleng.

-16 September 2020-
Selasa, 15 September 2020

Things That Makes Me Happy

Hal apa yang membuatku bahagia?

Entah ya, hidup di tengah pandemi panjang tanpa kejelasan kapan selesainya ini bahkan membuatku lupa, kapan terakhir kali aku merasa bahagia? Kalau sekadar ngga merasa sedih hampir setiap hari aku merasakannya, tapi apakah itu bisa disebut bahagia? Rasanya ngga. Kalau bahagia adalah suatu perasaan dengan nilai A+, maka perasaanku sehari-hari mungkin hanya senilai B-. Ngga merah, ngga butuh remedial, tapi juga ngga setinggi itu untuk bisa dikatakan bahagia. Sekadar cukup baik.

Pandemi ini sialan memang. Gara-gara dia, banyak hal yang tadinya membahagiakan sekarang malah jadi terasa membahayakan. Jalan-jalan ke Mall, misalnya. Dulu meski yang dilakukan cuma berkeliling tanpa tujuan jelas mau ke mana, keluar masuk toko mencoba-coba barang tanpa beli apa-apa, mencari jajanan yang harganya sedang ada potongan, atau memesan menu yang itu-itu terus dari restoran kesukaan, tapi melakukannya selalu jadi semacam penghiburan setelah satu hari melelahkan mengurusi pekerjaan. Memberi peningkatan pada nilai rasa senang. Sekarang boro-boro. Membayangkannya saja bergidik. Memaksakan pun bukannya bahagia malah jadi waswas. Kesehatan diri dan sekitar terlalu mahal untuk dipertaruhkan hanya demi kesenangan yang sebentar.

Jadi untuk saat ini, apa hal yang bisa membuatku bahagia?

Uang ngga bisa membeli kebahagian, katanya. Tapi setelah menjalani hidup dengan status sebagai pengangguran, bisa kukatakan kalau kayaknya pernyataan itu butuh direvisi karena di situasi sekarang terasa sangat tidak valid. Uang ngga selalu bisa membeli kebahagiaan, tapi seringkali bisa. Menghadapi pandemi dengan adanya pemasukan secara rutin tentu akan terasa lebih membahagiakan daripada ngga ada sama sekali. Seengganya bisa checkout-checkoutin beberapa barang di keranjang belanja buat ngisi waktu luang. 

Jadi salah satu hal yang bisa membuatku bahagia saat ini adalah segera dapat pekerjaan. Rindu sekali rasanya melihat penambahan nominal saldo pada rekening. Rindu merasakan sensasi jadi sultan setiap bulan. Doakan ya, semoga secepatnya didekatkan dengan rejekiku biar suara abang pengantar paket segera terdengar lagi.

-15 September 2020-





Senin, 14 September 2020

Aku dan Dendam

Entah benar secara kebetulan atau hanya sekadar barnum effect atau memang kenyataannya begitu, tapi ketika dikatakan penyandang zodiak scorpio adalah orang-orang yang penuh berisi emosi, aku ngga bisa menahan diri untuk ngga bersorak setuju, setidaknya dalam hati. HEI TEPAT SEKALI KOK BISA TAHUUUU. 

Manusia adalah ruang dari sekumpulan emosi yang bergantian datang secara bergiliran, dan aku (entah ya scorpio-scorpio lain) memanifestasikan keberadaan seluruh emosi secara penuh, dalam hati juga dalam ekspresi. Dalam sukacita, tawaku ramai bagai kembang api perayaan yang merentet panjang seolah lupa kata usai. Dalam duka, aku mengisi paru-paruku dengan kesedihan hingga lara yang lebih berat dari udara membuat nafas terasa sesak. Dalam rasa murka, amarah menjadi tiran yang melumpuhkan emosi lain untuk memastikan hanya dia penguasa tunggal. Dalam sakit hati, rasanya tekanan darah langsung merosot rendah kalau luka ngga dikonversi jadi dendam.

Iya, scorpio juga katanya pendendam, yang lagi-lagi tepat juga padaku. Aku memendam dendam dengan dalam. Aku pelupa, tapi perihal luka, meski sudah jadi bekas aku sulit lupa. Triggered berat bagi jiwaku adalah ketika nonton ftv azab indosiar dimana si protagonis memaafkan bahkan menolong antagonis yang rutinitas hariannya selain makan tiga kali sehari adalah ngejahatin si protagonis itu. Hih. Ngga masuk dalam kepalaku. Hati apa lintasan balap karung sih, lurus lurus amat. 

Hidup adalah rangkaian sebab akibat. Kalau pada akhirnya si antagonis menderita, ya itu akibat dari sebab kejahatan yang dia lakukan. Seengganya abaikan saja lah, biar dia cicipi rasanya karma dan diri nikmati manisnya balas dendam. Eh dia malah melepas kesempatan untuk merasa puas dengan ngasih pertolongan. Rasanya kayak dapet voucher cashback dan gratis ongkir tapi pas belanja lupa dipake. Gemas sekali. Tapi ya sudahlah, hidup hidup dia, keputusan dia. Mungkin dengan memaafkan, dia menikmati perasaan lain yang aku ngga mengerti. Perasaan yang ngga hanya perihal memberi kenyang pada ego. Perasaan yang masih aku pelajari. 

-14 September 2020-