Pages

Minggu, 26 April 2020

Kesedihan dan Lelakiku


Satu hal yang aku sukai dari lelakiku, aku suka caranya menenangkan duka. Caranya memberi penguatan bukan dengan berkata "jangan bersedih". Dia mengerti, sedih adalah respon diri dalam menghadapi duka, seperti diri merespon komedi dengan tertawa. Sedih itu bagian dari emosi, katanya, maka dia mempersilakannya. Dia membiarkan segala yang membeban tercurah lewat air mata. Dia tidak melihatnya sebagai tanda kelemahan, melainkan tanda bahwa aku adalah manusia dengan segala rasa di dalamnya.

Dia tidak pernah menyepelekan alasan aku berduka, pun tak pernah mengerdilkan rasa sedihku dengan membandingkan kesedihan lain yang lebih besar. Dia tahu, ini bukan adu derita tentang siapa yang paling merana. Kecil atau besar, setiap duka adalah nyata. Kecil atau besar, lukanya sama terasa dalam dada.

Dia tidak pergi ketika kesedihan menghadirkan sisi burukku yang menyebalkan. Dia tetap menemani meski yang tampak di depannya adalah wajah cemberutku yang jauh dari kata cantik. Dia, lelaki dengan selera humor rendah, tapi candaannya mampu membuat tawaku kembali merekah. Dia, yang mungkin tidak bisa menjadikan keadaan lebih baik, tapi mampu membuatku menerima keadaan dengan lebih baik.

Terima kasih, lelakiku.

(Serpong, 26 April 2020)
Rabu, 22 April 2020

Kenyataan itu Pahit, Jenderal!

Aku ngga pernah nganggep diriku cantik. Tapi ngerasa jelek banget pun ngga. Pas-pasan lah, ngepas standar minimum. Agak meningkat kalau di foto, kebantu filter sama efek. Ibarat nilai SMPTN, mungkin masuk pertimbangan, tapi pada akhirnya kalah sama yang nilainya jauh lebih tinggi. Terbukti dari status asmara yang sempat mencapai rekor 24 tahun jomlo. Yang deketin ada, tapi ujung-ujungnya dia jadi sama orang lain. Status paling tinggi cuman jadi peramai notif atau teman penunggu jeda balesan chat yang lain. Sedih? Ngga juga. Justru aku pengen ketawa. Mentang-mentang aku suka komedi sampai aspek hidupku pun dibikin komedi. Benar-benar totalitas.

Tapi yang paling membekas di kepalaku adalah kejadian waktu magang jadi asisten lab dulu. Timku terdiri dari 3 orang. Satu dosen instruktur dan dua asisten lab, aku dan seorang adik tingkat lelaki sebut saja namanya R. Hubungan aku dan R biasa saja. Dekat tapi ya hanya sebatas rekan. Logika kami masih jalan untuk tau batasan. Aku masih belum move on dari patah hati lama dan dia pun udah punya pacar. Pacarnya masih mahasiswa ajar kami juga di lab.

Suatu hari, seluruh asisten disuruh kumpul oleh dosen instruktur utama untuk dikasih pengarahan. Hanya R yang belum datang. Temanku, D, diminta tolong untuk memanggilkan R. D ini teman sesama asisten lab sekaligus temen sekelasku juga. Dia manis, kalau senyum gingsulnya muncul menambah daya tarik.

Sebagai asistan lab yang memegang banyak kelas, aku cukup dikenal di antara mahasiswa lain. Namun yang banyak dekat denganku kebanyakan perempuan karena kalau lagi pada ngobrol kadang dengan SKSD-nya aku ikut nimbrung. Lumayan, wawasanku seputar pergibahan dunia mahasiswa jadi meluas. Aku tau si ini dekat dengan siapa, atau si itu sedang pada masalah apa di kelas. Sebaliknya, D populer di antara mahasiswa laki-laki. Kadang kalau sedang bareng dia, ada aja yang nyapa-nyapa genit. Dasar ya orang cantik.

D yang disuruh memanggil R menemukan dia sedang bersama pacarnya.

"R, dipanggil tu suruh ngumpul."

"Oke deh, bentar."

R buru-buru pamit pada pacarnya dan segera menyusul D. 

Besoknya di lab, kulihat R datang dengan wajah lesu tanpa gairah hidup. Kalau aku ngga kenal dia, tebakanku pasti habis kalah judi.

"Cewek gue cemburu sama D masa.."

Lah belum ditanya udah curhat duluan. Narasumber idaman wartawan banget.

"Katanya ngapain dia manggil-manggil sampai nyamperin, aku sama dia ada hubungan apa, gitu katanya.."

Aku diam menyimak cerita R. Otakku sibuk mencerna, mencoba mengurai cerita untuk diambil pesan moralnya. Jadi pacarnya R cemburu sama D karena perkara D disuruh manggil dia doang. Hmm, posesif dan insekyur sekali. Jangan-jangan R juga dilarang belanja ke Indomaret, takut diselamat pagiin mbaknya. Aku kebayang juga pas R isi pulsa ke konter tiba-tiba pacarnya sewot, "ngapain bagi-bagi nomor hape ke mbaknya, minta banget dihubungin??". Aku mengikik dalam hati. Kasihan sekali hidupnya ngga bisa bersinggungan dengan wanita lain.

Eh tunggu, tapi kan pacarnya liat aku sama R bareng tiap hari. Ngga papa tuh. Ngga ada komplen. Sering kita cuma berdua aja di lab untuk ngenilai tugas atau ujian. Pernah juga kita boncengan nyari gorengan atau kerupuk buat temen ngemil ngisi jam kosong. Ngga ada R cerita pacarnya cemburu. Anteng-anteng aja. Hmm. Aku tau sekarang pesan moralnya.

Pesan moral : D yang cantik dianggap sebagai ancaman, bahkan sekadar manggil aja dianggap sebagai tanda bahaya. Sedangkan aku tidak cukup membahayakan untuk dikhawatirkan di mata perempuan lain jadi mau tiap hari bareng juga aman-aman aja alias lu ngga masuk standar bahaya untuk layak dicemburui alias lu ngga cakep weeeiii.

Meh, kenyataan jujur amat yah.