Pages

Sabtu, 04 Mei 2019

Balada Jam Tangan

Jam tangan keponakanku, Aya, ketinggalan saat kemarin liburan sekolah dia menginap di rumah. Baru ingat saat sudah di jalan pulang menuju rumahnya. Mau balik lagi sudah jauh. Mau dibiarkan saja tapi itu bukan jam tangan biasa. Smartwatch dengan harga lumayan, setara biaya kencan menu premium di Kintan Buffet. Dilengkapi dengan fitur telepon untuk Aya menelepon minta jemput kalau sudah pulang sekolah, karena di usianya yang baru 2 SD, dia masih belum diberikan kewenangan untuk punya hape sendiri. Plus dilengkapi GPS yang bisa memantau di mana Aya berada. Jadi kalau pada jam-jam pelajaran yang harusnya ada di kelas ternyata orangnya malah lagi di kantin makan indomie, Ibunya bisa tau. Tapi syukurlah selama ini ngga pernah terpantau begitu. Masih pelajar baik-baik.

Karena fungsinya yang begitu penting (dan harganya terutama. Mahal coy!) Emaknya Aya ngga rela kalau jamnya dibiarin gitu aja tertinggal. Aku sebagai seorang anak yang pernah mengalami beratnya tekanan batin dan mental karena meninggalkan barang yang dianggap penting bagi Ibunda (baca : tupperware), paham sekali bagaimana perasaan Aya saat itu, perasaan cemas yang dipicu oleh kekhawatiran bila nanti harus hidup sebagai penduduk warga negara tanpa status yang jelas karena tak terdaftar di kartu keluarga manapun. Kasihan sekali anak sekecil itu. Sebagai tante, aku ngga bisa tinggal diam.

Maka kukatakan pada Teteh supaya ngga usah khawatir. Kalem. Jangan bimbang jangan takut. Di sini Rosita hadir memberi solusi, bukan hanya janji. Kubilang biar jamnya nanti kupaketkan ke sana via JNE. Teteh pun setuju. Problem solved. Nasib seorang anak berhasil diselamatkan. Tinggal aku di sini kebingungan, wadahin jamnya pake apaan nih??

Awalnya, jamnya ingin kumasukan saja ke dalam pouch kain lalu langsung bungkus dengan kertas cokelat. Bahan seadanya yang ada di rumah. Tapi bentuk bungkusannya jadi meletoy-letoy, tidak rata, sulit ditulisi untuk alamat, dan rawan benturan pula. Aku butuh sesuatu yang kotak untuk wadah menyimpan jamnya. Aku pun berkeliling menggeledah isi rumah mencari wadah kotak yang bisa digunakan. Sempat terpikir untuk memakai wadah tupperware milik Mamaku, tapi nyaliku tidak setinggi itu untuk melakukan hal yang kelewat ekstrim. Maaf saja, aku bukan adrenaline junkie.

Sampai di kamar adik lelakiku, aku melihat sesuatu. Suatu barang terbungkus dengan kotak. Aha. Sebuah lampu menyala di atas kepalaku. Pakai ini saja. Masih ada isinya dan nampaknya masih baru, belum dibuka. Tapi ya sudahlah. Sebagai seorang kakak, tingkat hierarkiku di rumah ini tentu lebih tinggi daripada dia. Kalaupun nanti dia protes, bisa aku sogok dengan somay pengkolan. Aku pun mengeluarkan isinya dari kotak, memakai kotaknya untuk menyimpan jam, membungkus kotak dengan kertas cokelat, menuliskan alamat, lalu menyerahkannya ke JNE terdekat. Sempurna. Mission accomplished.

Esok siang, sebuah telepon dari Teteh masuk ke hapeku. Kuangkat, ternyata itu Aya.

"Uwo, makasih ya, jam tangan aya udah nyampe."

Meski hanya via suara, namun terasa olehku rasa terima kasih yang amat membuncah, mengaliri setiap kata yang keluar dari mulut Aya. Rasa terima kasih karena aku sudah membantu menyelamatkan hidupnya. Pahlawan memang tidak selalu berjubah, bisa jadi dia berdaster.

"Iya, sama-sama Aya. Alhamdulillah udah nyampe. Nanti hati-hati jangan ketinggalan lagi ya?"

"Iya Wo, tapi Wo.."

Hening sejenak dari seberang

"Wo, kok dibungkusnya pake kotak kolor sih? Kolor laki-laki lagi. Ih kan Aya kaget pas buka, ada gambarnya!"

Momen haru penuh syukur pecah digantikan suara tawaku membahana dan suara Aya di seberang bersungut-sungut. Iya, kotak yang kuambil dari kamar adikku adalah kotak kolornya yang baru dibelikan oleh Mamaku. Bergambar.. yah tau lah kotak kolor laki-laki gambar depannya apa!