Pages

Sabtu, 29 Juli 2017

Tentang Rencana

Aku bukan pelaksana rencana baik. Banyak rencana-rencanaku yang akhirnya hanya jadi wacana tanpa pernah berujung terlaksana.

Aku ingin lari pagi pada hari Minggu. Tapi saat alarm berbunyi, yang kulakukan malah mematikannya lalu meringkuk dalam selimut dan kembali tidur.

Aku ingin mengurangi porsi makan. Tapi sepagi ini saja aku sudah makan bubur dan tiga pisang goreng. Oiya dan biskuit cokelat juga. Entah berapa butir yang sudah kumakan, aku memang tidak ada keinginan mengingatnya, maaf saja.

Aku ingin pergi jalan-jalan di hari Minggu. Tapi yang kulakukan hanya mengulur-ngulur waktu untuk bersiap-siap hingga siang datang, lalu siang menjadi sore, sampai akhirnya hari Minggu habis, yang kulakukan hanya mendekam dalam rumah seharian.

Aku bukan pelaksana rencana yang baik. Untunglah menyayangi kamu tak pernah aku rencanakan.

(Serpong, 30 Juli 2017. Ngetik masih sembari ngemil biskuit cokelat. Rencananya ini butir terakhir, habis ini udah.)

Sabtu, 13 Mei 2017

14 Mei 2017

Gusi dan pipi bengkak. Orang-orang bilang ini gara-gara aku kebanyakan makan. Aku nyengir kecil aja, karena mau nyengir gede susah, yang bengkaknya sakit.

Entah lebih memalukan mana, mengiyakan aku kebanyakan makan atau bilang yang sebenarnya kalau ini gara-gara stres, kecapean, dan kurang tidur.

Kebanyakan makan kok ya kayaknya aku kemaruk banget gitu. Bilang sakit gara-gara stres rasanya orang-orang sekitar belum bisa nerima alesan itu dengan sewajarnya biasa-biasa aja tanpa memandang aneh.

Berawal dari dua hari sebelumnya. Aku emang udah sakit gigi, tapi sakit gigi biasa, minum panadol juga udah mendingan. Sembuh.

Malamnya, aku ngga bisa tidur. I was overthinking about something that really really bothered me so much. A disturbing thought. And i admit it, it made me frustated and upset.

Paginya, pipiku agak bengkak dan kaku, and i don't feel better yet pula, so i skip work. Berhubung aku punya riwayat bell palsy, kukira bengkak kaku ini gara-gara bell palsy lagi. Tapi kok lama-lama gigi yang kemaren sakit tu nyeri lagi, makin cenat cenut pula. Dan lama-lama bengkak di pipi makin besar, kayak yang lagi ngulum bola pingpong.

Makin lama, sakit di gigi dan gusi makin ngga ketulungan. Makan susah, ngomong susah, ngedebus nyembur api apalagi. Kondisi biasa aja sulit kan.

Mau ke dokter gigi tapi di daerahku tiap Sabtu jarang ada dokter yang buka praktek. Ya maklum sih, dokter juga manusia. Dokter bukan mesin bubut. Dokter juga punya rasa pengen liburan pas weekend. Tapi ya gimana dong, sakit kan ngga kenal liburan weekend.

Aku nyoba untuk nelpon dokter gigi langganan Mama, nanyain bisa ngga hari ini berobat. Alhamdulillah dokternya mau pas tau kondisiku udah sampai bengkak. Biarpun katanya bisanya malem tapi tak apalah sing penting diobatin. Doaku untukmu Bu, dan juga untuk para dokter yang mau buka praktek di hari libur. Kalian the real MVP.

Setelah penantian panjang yang rasanya panjang sekali menuju malam, akhirnya gigiku diobatin juga. Dokter bilang ada infeksi di dalem, makanya bengkak. Faktor penyebabnya kemungkinan besar karena stres, kurang tidur, dan kecapekan sehingga sistem imun menurun. Dan pas sekali kemarin gigi ada yang sakit, jadi kuman dan bakteri masuk dengan gampangnya lewat situ, macam pemegang beasiswa dengan nilai tertinggi masuk sekolah unggulan.

Sampai postingan ini ditulis, pipiku masih bengkak. Besok masuk kerja dan aku ngga tau harus bilang apa kalau ditanya kenapa pipiku bengkak. Terlalu lama kena panas sehingga jadinya memuai nampaknya ide bagus.

Minggu, 07 Mei 2017

Tentang Uneg-Uneg

"Yaelah, mampus."

Kalimat itu spontan kuucapkan waktu aku dapat kabar kalau ada lagi temanku yang mau nikahan.

Bukan maksud apa-apa, jujur dari lubuk hati paling dalam yang lebih dalam dari lagu-lagunya Adele, sebenarnya aku ikut senang denger kabar pernikahan teman. Senang, karena trial and error yang mereka alami dalam usaha membangun hubungan akhirnya berbuah manis. Senang karena aku pun kecipratan buah manis mereka dalam bentuk nasi goreng pake sop, ikan asem manis, rendang, urap, dan kerupuk udang. Ditambah bakso gubugan, puding, semangka, sama coca cola yang udah ngga dingin. Senang akutu.

Yang aku ngga senang tu waktu tiba momen salaman sama mereka di pelaminan. Aku salaman, ngasih ucapan selamat, lalu mereka balas dengan "cepet nyusul ya!".

:))))))

Ngga cuma dari pihak yang nikah sih, orang-orang sekitar pun sering banget nyinggung hal yang serupa. Kalau ada yang kerja di bagian survey, coba deh kumpulin data, cari foto-foto kondangan di media sosial yang dikomen dengan "kondangan mulu, kapan dikondangin?". Hitung berapa presentasenya. Aku yakin sih sekitaran 90% alias banyak banget setdah.

Iya, mungkin itu doa yang dibungkus dengan candaan, tapi kalau kamu udah 479.543 kali ke undangan pernikahan dan hampir sebagian besar mereka ngucapin hal yang sama ya eneg juga lah tjoy :))))). Sama kayak becandaan kurban perasaan pas Idul Adha atau pertanyaan "dari mana?" yang dijawab "dari tadi", terlalu sering diulang-ulang sampai akhirnya yang denger gumoh dan muntah dalam hati.

Ada orang yang udah siap lahir batin dan mutusin buat nikah, ya bagus, selamat. Ada orang yang belum, ya udah, ngga papa. Nikah bukan tren-trenan macam gelang power balance, sepeda pixi, atau batu akik yang kamu lakuin atas dasar ikut-ikutan karena banyak orang yang ngelakuin. Ngga usahlah ngasih tekanan untuk buru-buru nyusul, dikata nikah itu lomba balap karung 17an kudu adu cepet susul-susulan?

Lagian segala nanya-nanya kapan nikah tapi pas sendirinya ditanya kapan ngumpul lagi di grup watsap cuma jawab ayo ayo aja tapi ngga pernah ada tindakan. Cih.

Sabtu, 18 Februari 2017

Bulan

Seperti biasanya, malam ini kuhabiskan dengan duduk di teras. Menghisap sebatang rokok yang sudah nyaris puntung sembari memandang bulan yang malam ini sedang purnama.

Seperti biasanya, dia muncul dengan segelas kopi dan meletakannya di sebelah asbak lalu duduk di sampingku. Aku menghembuskan asap terakhirku dan membuang puntung ke dalam asbak.

Seperti biasanya, kami duduk bersebelahan dalam diam yang nyaman sembari sama-sama memandang bulan. Atau yang kukira begitu.

Karena tak seperti biasanya, malam ini diam dipecah oleh suaranya.

"Sebenarnya apa yang kau lihat dari malam?"

Aku mengarahkan telunjukku ke atas

"Aku melihat bulan."

Dia membulatkan mulutmu sembari mengangguk-angguk, lalu kembali terdiam.

"Hei."

Tak lama, suaranya kembali terdengar.

"Apa?"

"Bagaimana... bagaimana kalau ternyata selama ini kita tak memandang bulan yang sama? Maksudku.. kau selalu suka memandang bulan, sementara aku selama ini di sampingmu kadang menatap bintang, kadang melihat lampu di sisi jalan, dan seringkali aku memandang...."

Dia menghentikan ucapannya. Wajahnya memerah. Sadar aku menatapnya, dia menutup wajahnya dengan tangan.

"Seringkali memandang apa?"

Dia menggeleng. Tangannya masih menutupi wajah. Aku tertawa. Kuacak-acak rambutnya.

"Bagiku tak masalah bilapun kita tak memandang bulan yang sama. Cukuplah kau buatkan aku secangkir kopi, duduk di sampingku, temani aku melihat bulan sementara kamu memandang apapun, entah apa saja yang kamu suka."

Dia membuka wajahnya. Rona merah masih tampak di sana.

"Seperti... memandang kamu misalnya?"

Aku tertawa.

"Ya, memandang aku, misalnya."

"Tak masalah?"

"Tak masalah." Aku mengangguk mantap.

"Kalau begitu teruskan."

"Teruskan apa?"

"Teruskan memandang bulan."

"Ini sedang kulakukan."

Dia tertawa.

"Tidak, kau sedang menatapku."

"Tidak, aku sedang memandang benda bulat bercahaya serupa bulan di matamu. Diamlah, aku suka memandangnya."

Kali ini dia tersenyum lalu balas menatapku.

"Yang mengedip duluan kalah." Katanya.

"Itu permainan lama. Membosankan. Bagaimana kalau... yang jatuh cinta duluan kalah?"

Wajahnya kembali merona dalam merah. Dia diam. Aku mendekatkan diri ke arahnya. Ke arah bibirnya tepatnya. Lalu mengecupnya pelan.

"Aku kalah.." bisikku.

Jumat, 17 Februari 2017

Bocor!

Jangan pernah ceritakan rahasia kalian pada bocah yang tingginya bahkan buat nyalain lampu aja masih kudu pake bantuan sapu buat mencet saklarnya. Sekali lagi saya tegaskan, jangan! Sekali lagi.. tapi ngga ah, ntar kayak iklan mastin diulang-ulang.

Kenapa jangan?

Karena bocornya Allahuakbar kayak gayung love yang dasar permukaannya udah retak. Air yang ketampung di sana buyar semua brecetan. Nah macam itu!

Contoh nyatanya ponakanku sendiri noh. Umur 6 tahun. Zodiak cancer. Golongan darah entah apa, tapi yang jelas bukan golongan karya. Hobi kepoin aku lagi watsapan sama siapa. Kalau lagi watsapannya sama si mas calon masa depan, langsung heboh ngeledek cie-ciean. Gitulah.

Njut.

Jadi mamaku sebentar lagi ulang tahun. Diam-diam aku punya rencana untuk beliin beliau hadiah tas buat kejutan. Browsinglah aku nyari-nyari tas bagus. Dan yang utama murah. Maklumi, faktor tengah bulan. Hidup ke depan sampai akhir bulan masih panjang.

Lagi browsing-browsing, datanglah bocah yang kayaknya di masa depan ada bakat jadi ibu-ibu rumpi bermarkas gerobak kang sayur, memandang layar hape dengan kepo.

"Wo mau beli tas buat Mamah ya?"

"Iya, kan Mamah bentar lagi ulang tahun."

"MAMAAAAAHH, UWO MAU BELIIN MAMA TAS BUAT HADIAH ULANG TAHUUUUN!!"

Mamfus.

Tiba-tiba dia berseru dengan lantangnya. Sebelum aku berhasil bekep mulutnya pake kepala chasan, Mamah keburu dateng sambil senyum-senyum.

"Oh mau beliin Mamah tas? Haduuh, coba liat yang kayak gimana."

Hhhh.

Pasrah, aku menyodorkan hape ke Mamah sambil menatap ponakanku dengan tatapan bermakna "dasar-bocah-mulut-plafon-item-rembes-kutambal-kau-pake-no-drop-cat-pelapis-anti-bocor".

"Kok beliinnya yang gini sih? Ah Mamah ngga suka yang model gini. Yang lain ah Mamah cari sendiri."

Sementara Mamah browsing sendiri, dalam hati aku sibuk berdoa, semoga tas yang Mamah suka ngga bikin aku harus puasa Senin Selasa Rabu Kamis sampai gajian berikutnya.

"Nah yang ini bagus nih! Ini aja!"

Mamah menunjukan layar hape yang sedang menampakan gambar tas ke arahku. Masa bodo dengan modelnya, mataku langsung auto fokus ke harganya yang ternyata..

Over budget sodara sodara.....

Ya Allah, hamba-Mu pasrah Ya Allah, yang terjadi, terjadilah...

Selasa, 07 Februari 2017

A Letter for U

Aku cinta kamu.

Tapi terlambat.

Maafkan.

Aku seharusnya cintai kamu dari dulu.

Sedari awal harusnya aku bisa melakukan sesuatu, apapun, entah apa, asalkan nyata dan terasa bagimu kalau aku cinta kamu.

Tapi terlambat.

Maafkan.

Aku ngga memperlakukan dan mencintaimu dengan baik.

Yang kulakukan selalu memuaskan keinginanku sendiri tanpa memikirkan kamu sedikitpun.

Aku memilih-milih makanan semauku, yang kebanyakan berlemak, berminyak, dan bergula.

Mecin terutama.

Kamu tau sendiri aku penikmat mecin garis keras.

Maafkan.

Aku ngga memberi kamu serat yang cukup.

Boro-boro yakult dua kali sehari, minum air pun sedikit.

Yang kuberikan selalu yang memberatkanmu, yang membuatmu bekerja lebih keras setiap hari.

Aku ngga menyalahkan kalau akhirnya kamu lelah.

Usus mana yang ngga lelah mencerna sampah-sampah ngga sehat yang kumakan setiap hari?

Kamu lelah dan butuh pertolongan.

Maafkan aku yang terlambat menyadarinya.

Izinkan aku memperbaiki ini.

Izinkan aku mencintaimu dengan baik kali ini.

Dan nyeri usus buntu ini akan kita lewati bersama.

Dariku untuk usus.