Pages

Sabtu, 23 Januari 2016

Kisah Ujung Pelangi

Langit makin menggelap, menandakan waktu tidur sudah tiba. Tangkai jarum jam yang termungil nyaris menunjuk angka yang sama dengan jumlah semua jari-jemari di kedua tangan. Seorang bocah terbaring di tempat tidur. Tubuhnya tertutup selimut, namun matanya terbuka lebar, menampakan sejumput energi dan semangat yang masih tersisa, belum sepenuhnya habis oleh kantuk.

"Lho, Iris belum bobo?"

Seorang wanita muncul dari ambang pintu, menghampiri bocah itu dan duduk di tepi kasurnya.

"Belum Bu, aku belum ngantuk."

"Udah malem lho, besok sekolah kan."

"Iya,tapi aku belum ngantuk. Ceritain aku dong Bu."

"Mau cerita apa emang?"

"Mmm.. apa ya.." bola mata bocah itu memutar ke atas sementara dia berpikir.

"Oia! Cerita Ibu ketemu Bapak deh!" serunya.

Sang Ibu tertawa.

"Hooo, mau tau gimana Ibu ketemu sama Bapak?"

Iris menjawab dengan anggukan penuh semangat. Sang Ibu membetulkan posisi duduknya agar lebih dekat dengan Iris lalu mulai bercerita..

***

Tak ada yang lebih disukai para peri cahaya penghuni awan selain bumi sore hari selepas hujan. Setiap momen itu tiba, para peri cahaya selalu turun menjumpai bumi. Entah untuk melompat-lompat di genangan, menjejak rumput basah, atau sekedar duduk menyaksikan sisa tetes hujan berlomba turun dari dedaunan, adu cepat siapa yang lebih dulu menyentuh tanah. 

Menuju bumi, para peri cahaya tidak turun melompat begitu saja, tidak. Mereka meluncur turun dari awan dengan seluncuran warna warni yang mereka ciptakan dari pendar cahaya yang membias, yang membentuk lengkung tujuh warna, yang kemudian mereka namakan pelangi.

Setiap kali peri cahaya meluncur turun ke bumi, selalu ada bubuk cahaya dari tubuh mereka yang berjatuhan dan tertinggal di ujung pelangi. Bubuk cahaya yang mengandung keajaiban. Siapapun manusia yang bisa menyentuhnya akan mendapat harta yang tak ternilai, yang paling berharga dalam hidupnya.

***

"Aku kan minta Ibu cerita gimana Ibu ketemu Bapak, kenapa malah cerita itu?" Iris melipat tangan di dadanya, sebal.

Ibu tersenyum dan menaruh telunjuknya di bibir.

"Diam dulu. Dengerin. Ceritanya belum selesai."

***

Sore itu langit tumpah ruah. Bulir-bulir hujan tak henti berdatangan menjejak bumi. Jalan sepi. Banyak makhluk menepi, berteduh mencari tempat berlindung. Tapi tidak gadis itu. Dia tampak tak peduli, justru menikmati. Dengan payung di tangan, ia terus berjalan di bawah iringan hujan hingga rintiknya menipis, melambat, dan akhirnya mereda. 

Sedikit demi sedikit langit menerang. Berkas cahaya mulai memancar dari matahari yang masih mengintip malu. Lalu saat itulah ia melihatnya. Tepat di depan matanya. Lengkungan besar seluncuran tujuh warna. Pelangi. 

Ia termangu takjub, terpukau dengan apa yang dilihatnya. Dengan terpesona ia melangkah, menyusuri arah lengkung pelangi hingga tibalah dia pada ujungnya. 

Baginya pelangi sungguh mempesona. Namun apa yang kini ia lihat jauh lebih menakjubkan lagi. Ujung pelangi yang berpendar karena bubuk cahaya yang berjatuhan. Kuning keemasan, gemerlap berkilauan. Seterang pijar kunang-kunang. Didorong rasa takjub dan penasaran, tak sadar ia julurkan tangan menyentuh cahaya berpendar di ujung pelangi. 

Lalu terjadilah. Ketika bersentuh dengan tangannya, cahaya di ujung pelangi bersinar makin terang. Sangat menyilaukan, hingga gadis itu harus menutup mata seraya menghalau cahaya dengan tangannya. 

Saat akhirnya ia membuka mata, pelangi dan ujungnya yang bercahaya sudah lenyap. Namun ia masih terpaku karena di depannya berdiri hal yang tak kalah mempesona. Tak kalah indah dari pelangi. Tak kalah menawan dari ujungnya yang bercahaya. 

Sesosok lelaki.

***

"Dan itulah ceritanya gimana Ibu ketemu Bapak."

Ibu memandang Iris yang kini sudah terlelap tidur. Ia bangkit perlahan, takut mengganggu tidur Iris.

"Selamat tidur ujung pelangi kedua Ibu." Ibu berbisik pelan di telinga Iris, mengecup dahinya, mematikan lampu, dan keluar kamar.

"Iris udah tidur, Dek?" tanya Bapak melihat Ibu keluar dari kamar Iris.

"Sudah Mas. Tadi ngga bisa tidur, terus minta diceritain. Sekarang sudah pules tuh."

"Oh.. cerita apa sih?"

Ibu tersenyum jahil sambil mengedipkan matanya.

"Rahasia.."


Jumat, 22 Januari 2016

Karena Menulis Adalah Merekam Kenangan ke Dalam Kata

Aku manusia pelupa, karena itu aku harus menulis, 
agar jika nanti ada hal penting yang tak sengaja terlupakan
seperti kenapa aku yakin untuk menitipkan hati padamu misalnya, 
aku bisa mengingatnya lewat ingatan yang tersimpan rapi dalam wujud aksara.
(Serpong, 22 Januari 2016)
Jumat, 15 Januari 2016

Karena Ini Kehidupan

Selamat datang di kehidupan

Tempat di mana tidak semua yang terjadi adalah hal yang menyenangkan.

Tempat di mana tidak semua damba bisa dijangkau tangan.

Tempat di mana tidak semua ketentuan-Nya sejalan dengan yang diekspektasikan.

Tempat di mana tidak semua perjalanan terlalui dengan mulus tanpa hambatan.

Tempat di mana tidak semua harapan bisa mewujud jadi kenyataan.

Karena ini kehidupan.

Karena hidup bukan taman ria yang isinya hanya kesenangan.

(Serpong, 16 Januari 2016)

Selasa, 12 Januari 2016

Mari?

Mari duduk bersisian
Dengan bahu yang saling bertempelan
Pandang yang seringkali bercuri-curian
Dunia, seisinya, dan apa saja untuk diperbincangkan
Beserta degup yang gaduh tak beraturan
Lalu kita akhiri hari dengan menumbalkan waktu untuk disalahkan
Karena melesat terlalu laju seperti kuda balapan

(Kramat Raya, 13 Januari 2016)

Jumat, 08 Januari 2016

Tentang Masa Lalu

Tentang masa lalu
Aku tidak ingin melupakannya
Yang aku mau
Ketika kenangan membawanya kembali
Aku tersenyum
Dan baik-baik saja

(Tanah Abang, 8 Januari 2016)

Senin, 04 Januari 2016

Tanggal Merah di Hari Minggu

Dear Risa,

Melalui sepucuk surat ini aku ingin mengucapkan selamat atas pernikahanmu. Doa untuk kebahagiaanmu sengaja tak kutulis di sini. Aku memilih untuk menyampaikannya langsung pada Dia, Sang Pengabul Doa. Yakinlah, yang kupanjatkan untukmu adalah yang terbaik yang bisa kusematkan dalam doa.

Ris, kamu tahu tidak, dari semua hal yang paling kubenci di dunia, tanggal merah yang jatuh di hari Minggu adalah peringkat pertama yang menempati urutan teratas. Sungguh, aku benci sekali. 

Tanggal merah di hari Minggu bagiku sia-sia, seperti menabur garam di samudera.

Seperti nyala lilin di bawah terik matahari.

Seperti jatuh cinta pada orang yang salah di waktu yang salah.

Seperti mencintai dia yang telah termiliki di saat aku pun sudah ada yang memiliki.

Seperti aku padamu, Ris..

Tak jarang aku mengumpat dan merutuki, mengapa Pemerintah biarkan tanggal merah jatuh di hari Minggu? Kenapa tidak beliau geser saja menjadi hari Senin, biar dua tanggal merah berdampingan, biar bahagianya berganda?

Ris, kamu pernah bilang padaku, hal-hal dalam hidup itu terbagi dua, yang  masih mungkin diperjuangkan untuk diubah dan yang hanya bisa direlakan. Bagiku tolol rasanya  untuk memperjuangkan ini, untuk datang menggebrak pintu istana Presiden meminta tanggal merah di hari Minggu untuk dienyahkan. Tak mungkin kuubah. Yang bisa kulakukan hanya merelakan, membiarkan hari Minggu bertanggal merah berlalu dibawa waktu, dan mempersilakan datangnya hari yang baru.

Sama seperti aku padamu, Ris..

Ris, kamu tahu, bukan hanya kamu yang punya kabar bahagia, aku juga punya. Sudah beberapa hari ini Manda tidak enak badan, maka aku pergi membawanya periksa ke dokter. Bisa kamu tebak apa yang dikatakan dokter? Manda hamil Ris, hamil! Sudah berjalan enam minggu! Aku akan segera jadi ayah!

Kalau kamu tanya apa aku bahagia atau tidak, aku akan jawab iya, aku bahagia. Manda wanita yang baik. Sangat baik. Terlalu baik untuk kukecewakan. Terlalu baik untuk tak kubahagiakan. Aditmu pun seperti itu kan? Semoga kalian berdua hidup saling membahagiakan, tak terganggu tanggal merah di hari Minggu. 

Sekali lagi kuucapkan selamat untukmu Risa, tanggal merahku yang jatuh di hari Minggu.

Kresno

Di hadapan sepucuk surat putih itu, tampak sepasang bola mata menekuni hurufnya satu demi satu, ditemani bulir bening yang sesekali mengaliri pipinya.

"Dan kamu pun tanggal merahku yang jatuh di hari Minggu, Kres.."