Pages

Senin, 19 Oktober 2015

Postingan Gara-Gara Bibir

Aku mengambil tisu, lalu menempelkannya ke bibir yang sedari tadi kugigiti. Nampak noda merah menempel di tisu.

"Heh, gigitin bibir lagi lu yak?" ketus Jerapah. Ternyata dari tadi dia merhatiin aku.

"Ehehehe.." aku nyengir ke arahnya, sebisa mungkin menampakan wajah polos tak kenal dosa.

"Ntar kalau bibirnya terus-terusan lu gigitin, lukanya lama-lama bisa parah. Bibir lu bisa diamputasi!"

Eekk. Aku keselek ludah sendiri. Apa pula amputasi bibir. Aku melirik kantung snack makaroni-makaronian di depan Jerapah yang sekarang tinggal setengah. Benar ternyata, terlalu banyak mengkonsumsi mecin dan MSG bisa mengganggu fungsi otak.

"Bayangin bibir lu nanti diamputasi. Lu ngga bisa ciuman!"

Eekk. Kali ini aku keselek makaroni yang tadi kucomot. Pelis, dari sekian banyak hal yang bisa dilakuin make bibir macam suit-suitin mas ganteng di pengkolan atau foto gaya duck face dari atas, entah kenapa hal yang pertama dia pikirin adalah ngga bisa ciuman. Pikirannya pastilah khusus dewasa. Mentalis yang mau baca pikirannya minimal harus punya KTP. Yang di bawah umur dilarang baca.

"Emang apa enaknya sih gigit-gigitin bibir sampai berdarah gitu? Sakit kan!"

Aku diam. Tisu masih kutempel di bibir. Noda merahnya nambah. Entah ya, kenapa ya?

Jujur iya, sakit. Apalagi pas bagian ternyerinya kegigit. Duh Gusti nu agung.. pedih sungguh adek rasakan. Ngga selesai sampai situ, bekasnya pun masih nyisain perih pas kena makanan panas atau berbumbu. Smash bikin lirik cenat cenut pastilah terispirasi dari ini.

Tapi dibalik semua nyeri yang kurasain, diam-diam ada kenikmatan yang terselip. Ada kepuasan kecil ketika bagian terpedih berhasil kegigit. Ada candu ringan dalam lapisan bibir yang mengelupas, menimbulkan adiksi di setiap luka.

Dan aku nemu jawaban dari pertanyaan Jerapah.

Kenapa aku suka gigitin bibir?

Karena ternyata diam-diam aku penikmat luka. Sama seperti aku diam-diam nikmatin pahitnya kesedihan, sengaja masang lagu sendu penambah nelangsa, nenggelamin diri di lautan lara lebih dalam. Diam-diam aku nikmatin itu.

Ah, kayaknya aku harus kurangin konsumsi mecin.

Minggu, 04 Oktober 2015

Tidak Boleh Ada Yang Mengganggu Adikku

Tidak boleh ada yang menggangu adikku. Seorangpun tidak boleh. Maka ketika Toni dan Ando mencegat adikku dan mencoba merampas uang jajannya, kulemparkan batu ke arah kepala mereka hingga mereka lari tertunggang langgang. Rasakan itu.

Tidak boleh ada yang membuat adikku sedih. Maka ketika adikku menangis karena takut dimarahi guru matematikanya yang galak perihal buku PR-nya ketinggalan di rumah, dengan segera kuantarkan bukunya  dan kuselipkan dalam tasnya. Melihat wajah terkejutnya yang bahagia mendapati buku PR-nya ada di tas, sungguh membuat perasaanku melonjak.

Tidak boleh ada yang menyakiti adikku. Seekor nyamuk pun tidak. Maka ketika malam tiba, seringkali kudatangi dia yang sedang pulas tertidur. Menjaganya dari makhluk bawah tempat tidur atau dalam lemari yang sering membuatnya takut. Tapi seringnya sih membetulkan posisi selimutnya karena gaya tidurnya yang tidak mau diam.

Tidak boleh ada yang melukai adikku. Tidak siapapun dan apapun. Maka seminggu lalu, ketika sebuah mobil melesat nyaris menghantamnya, kupasrahkan tubuhku menjadi tameng untuk melindunginya. Tidak apa-apa dik, itulah tugas kakak. Dan hingga kamu besar nanti, kakakmu akan selalu ada untuk menjagamu, aku janji!               

#RIDDLE Ibu

"Assalamualaikum, aku pulang."

Hening. Ngga ada jawaban. Sudah pasti. Walaupun aku sudah tahu ngga bakal ada yang jawab, tapi sudah jadi kebiasaan yang ditegakkan oleh Ibu untuk mengucap salam ketika masuk rumah. Biasanya Ibu yang akan menjawab lalu menanyakan apa aku sudah makan atau belum, tapi kini hanya hening yang menjawab.

Aku melempar tas sembarangan dan segera mengenyakkan diri di sofa. Ngga masalah. Toh ngga ada Ibu yang bakal marah-marah nyuruh aku untuk ngeletakin di tempat yang benar. Dulu aku sebal. Tapi sekarang aku berharap sekali omelan itu terdengar lagi. Benar ya apa kata orang, seringkali kita baru sadar betapa berharganya suatu hal setelah hal itu hilang.

Aku masih ingat sekali, seakan baru terjadi kemarin. Saat itu pukul 3 sore. Aku masih di kantor, masih menyelesaikan design website pesanan klienku. Tiba-tiba handphoneku berbunyi. Dari Bu Handoko, tetanggaku. Dengan suara bergetar penuh isak, ia mengabarkan kalau Ibuku tertabrak mobil di jalan depan rumahku. Pikiranku mendadak kosong. Tubuhku terasa kebas. Nafasku sesak. Ibu pergi, menyusul Ayah yang sudah lebih dulu dijemput malaikat Izrail ketika aku masih di perut Ibu. Ibu pernah bilang laki-laki harus kuat, pantang meneteskan air mata. Tapi aku ngga bisa mengendalikan kelenjar air mataku saat itu. Dan saat ini juga.

Hari ini tanggal 5 Oktober. Tepat 4 bulan Ibu pergi. Sungguh aku rindu sekali pada Ibu. Dan tiba-tiba saja rinduku menjelma sesak yang memompa kelenjar air mataku. Dan seperti anak kecil, aku menangis hingga ngga sadar aku ketiduran. Tiba-tiba saja aku terbangun karena alarm hapeku berbunyi. Jam 5 subuh. Aku menghempas selimut dari badanku dan segera menuju ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Saatnya mengirim doa untuk Ibu dan Ayah.