Pages

Senin, 28 Mei 2018

Ternyata Bukan Kora-Kora

Aku ngga suka naik kora-kora. Tau kan, salah satu wahana di dufan yang bentuknya menyerupai perahu. Perahunya digantung sama tiang gitu terus nanti diayun bolak balik, makin lama makin kenceng.

Kayak gini lho

Ketika perahu diayun tinggi lalu berayun turun ke bawah, sumpah, buat aku rasanya ngga enak banget. Serasa kayak jatuh dari atap gedung tinggi lalu meluncur terjun ke tanah. Rasanya menyeramkan sekali. Aku ngga suka. Perutku sampai mulas. Boro-boro menikmati sambil jejeritan senang seperti yang lain, sepanjang wahana berjalan yang kulakukan adalah jejeritan minta udahan. Dengan wajah pucat syok berat, turun-turun aku nangis kejer sambil gemeteran. Maka cukup sekali saja aku naik kora-kora dan sudah, aku ngga mau lagi.

Aku kira perasaan ketika diayun tinggi naik kora-kora itu masuk ke peringkat pertama kategori perasaan paling ngga ngenakin di dunia versi Rosita. Ternyata aku salah. Kora-kora bukan peringkat satu. Masih ada lagi perasaan yang lebih ngga ngenakin, yaitu perasaan ketika aku terus mengecewakan orang yang aku sayang karena lagi-lagi melakukan kesalahan yang sama. Aku benci sekali perasaan itu.

Sialnya, malam ini perasaan itu sedang datang. Baru saja lagi-lagi aku melakukan salah yang sama pada dia. Lagi-lagi aku bikin dia sedih.

Biasanya aku sama sekali ngga ada kesulitan untuk tidur. Terlalu gampang tidur malah, sampai kadang nimbulin masalah. Tapi malam ini aku ngga bisa tidur. Sekarang aku ngerasain gimana rasanya jadi overthinker dengan segala pikiran dan kekhawatirannya yang membebani isi kepala.

Kalau isi kepalaku dibuka, kalian akan temukan di dalamnya banyak sekali penyesalan. Penyesalan yang berserakan di mana-mana memberantaki ruang dalam kepala. Penyesalan yang berjejal-jejalan tak karuan. Penyesalan yang seperti amoeba, terus membelah diri, berlipat ganda, bertambah dalam jumlah. Penyesalan yang membuatku ingin sekali memaki dan menghukum diri sendiri dengan berdiri di pojokan satu kaki sambil tangan menjewer telinga. Penyesalan yang mengundang pikiran-pikiran lain untuk datang namun tak satupun ada pikiran menyenangkan. Pikiran-pikiran yang penuh kekhawatiran.

Bagaimana kalau kali ini kata maaf pun tak cukup untuk menebus rasa sesal?

Bagaimana kalau kesalahan yang terus berulang ini bisa menghapus semua hal baik yang pernah terkenang dan hanya menyisakan amarah satu-satunya?

Bagaimana kalau tercipta jarak dari dia yang makin lama makin merenggang karena perasaannya yang tak lagi sama?

Bagamana kalau dia lelah terkecewakan dan memilih menghentikan apa-apa yang selama ini sudah diperjuangkan?

Bagaimana..?

Bagaimana..?

Bagaimana..?

Dan terus berdatangan segala pikiran buruk yang diawali kata bagaimana. Aku benci perasaan ini. Aku benci segala kekhawatiran yang lama-lama berubah jadi ketakutan ini. Lebih benci dari perasaan ketika naik kora-kora. Rasanya kora-kora jadi tak ada apa-apanya.