“Hidup ini lucu, kita
dikasih banyak pilihan bagaimana menjalaninya, tapi ngga dikasih pilihan
bagaimana memasukinya.”
Manusia diciptakan begitu adanya. We was born this way. Ngga bisa milih mau
muka yang kayak gimana, punya kemampuan seperti apa, dan orang tuanya siapa.
Kalau bisa milih, mungkin Bill Gates udah punya banyak anak dengan tampilan
fisik seperti Anjelina Jolie dan Keanu Reeves, otak sejenius Einstein, hati
setulus Bunda Theresa, dan karakter semenyenangkan Oprah Winfrey. Sayangnya, bagaimana
kita dilahirkan itu adalah hak prerogatif Tuhan sebagai Pencipta. Kita sebagai
hamba ngga punya kewenangan sama sekali. Cuman bisa menerima dan mensyukuri apa
adanya kita sesuai keinginan Tuhan. Begitu pun aku.
Kalau aku bisa milih, mungkin
tulisan ini ngga bakal ada karena sang penulis cantik nan rupawan yang
ekstrovert, supel, dan sophisticated sedang ngegaul bareng teman-temannya yang
bejibun banyak, tersebar dari sabang sampai akhirat. Atau sedang sibuk keliling
dunia dalam rangka kegiatan sosial dengan membawa nama sebagai Miss Universe. Tapi kenyataannya
ngga. Tuhan menciptakanku dengan komponen 90% air, 8% sifat introvert, dan 2%
lemak.
I’m totally introvert person. Yes I am.
Sebagaimana karakteristik introvert, aku tertutup, pasif, juga sulit (dan
kurang suka) bersosialisasi. I hate stranger. Aku benci berada di tengah
kerumunan orang asing dan orang-orang yang ngga terlalu dekat. Ketika sedang
kumpul keluarga besar, aku lebih suka ngunci diri di kamar lalu baca buku,
nulis, internetan, main gitar, and other things I can do alone. Ketika sedang
di jalan dan tiba-tiba melihat wajah orang yang dikenal, aku akan pura-pura
ngga lihat dan balik arah. Aku benci berbasa-basi memaksakan obrolan garing
macam “apa kabar?”, “lagi ngapain?”, and stuff like that. Bleh. Pergaulan dan
sosialisasi pun terbatas, hanya berkutat pada sahabat yang itu itu aja. Dia
lagi, dia lagi. Jumlah istri Eyang Subur sebelum cerai pun rasanya lebih banyak
dari jumlah sahabat dekatku.
Sebagaimana karakteristik introvert, aku nyaman dengan kesendirian. Aku
nyaman dengan ketertutupanku. Aku nyaman berada jauh dari pandangan mata orang
banyak. Aku nyaman dengan pergaulan terbatas yang hanya berkutat pada sedikit
orang terdekat. Aku nyaman dengan keadaanku yang seperti ini. This is my
comfort zone. Masa bodo dengan mereka yang mengatakan keintrovertanku ini
sebagai kelemahan. Who cares, toh aku nyaman. Kalau memang ini kelemahan, ya
sudah, manusiawi kan manusia punya kelemahan? Mau diapain?
Aku pun terus menjalani hidup dalam zona nyaman, terus menutup diri dari
orang asing dan terus bergaul dengan kawan yang itu-itu saja. Hidupku terus
berjalan seperti itu hingga akhirnya aku dihadapkan pada realita bahwa hubunganku
dengan sahabat mulai merenggang karena kami mulai sibuk dengan hidup
masing-masing. Intensitas waktu kebersamaan mulai berkurang. Lambat laun
kesepian pun datang.
Diantara kalian pasti ada yang pernah mengalami entah di masa sekolah atau
kuliah momen ketika sedang nyaman-nyamannya tidur di kelas bersuasana tenang, tiba-tiba
saja seseorang menjatuhkan kotak pensil besi ke lantai. Kalian pun terlonjak
bangun karena kaget, dan setelah tersadar tiba-tiba saja rasa kantuk yang
membuai tadi hilang. Ya seperti itulah rasanya. Kenyataan dan rasa kesepian membangunkanku
seperti suara keras kotak pensil besi yang membentur lantai. Di titik itu aku
tersadar, men, aku ngga bisa
gini terus. Aku ngga bisa terus-terusan menutup diri berkutat di zona nyaman. Biar
bagaimanapun aku tetap manusia biasa, walaupun dari segi wajah mirip bidadari, aku
makhluk sosial, butuh orang lain. Aku ngga mau ditemukan tewas overdosis kuah
rendang karena stress kesepian.
Kita diciptakan begini adanya. We was born this way. Sudah dari sananya
dianugerahi Tuhan dengan karakter dan keadaan seperti ini, dengan kelebihan dan
juga kekurangan. Ya beginilah. Kabar buruk, kita ngga bisa menolak kekurangan
yang diberikan Tuhan. Tapi kabar baiknya, kita bisa memilih, mau dipertahankan
atau diperbaiki? Mau terus bergelung dalam zona nyaman atau melompatinya
keluar? Mau stuck atau move on?
Dan aku memilih move on.
Yes, I wanna move on. The script boleh menyatakan diri sebagai the man who
can’t be moved, tapi maap aja, aku bukan. Hidup ini terus bergerak, siapa yang
statis dia akan tertinggal. Aku ngga mau. Aku mau berubah.
Jujur, mengambil langkah pertama untuk keluar dari zona nyaman itu sulit
memang. Rasa ragu-ragu, takut, minder, dan ngga yakin terus membayangi. Gimana
kalau orang memandangku aneh? Gimana kalau aku ngga dipedulikan? Gimana kalau orang-orang
ngga suka aku? Gimana kalau mereka memandangku sebelah mata? Apa mereka Jaja
Miharja? Beribu-ribu pertanyaan bernada pesimis berseliweran di kepalaku.
Tapi akhirnya dengan bersenjatakan Basmalah dan
keberanian yang ala kadarnya, kucoba untuk lebih aktif bersosialisasi dengan
sekitar. Awalnya sederhana, kucoba untuk menyapa orang sekitar, misalnya
mengatakan “permisi” ketika melewati tetangga, satpam komplek, petugas
mall yang sedang ngepel, dan pohon besar di daerah angker. Kemudian alih-alih kabur, kucoba untuk tersenyum dan menyapa “hai” ketika bertemu
dengan orang yang kukenal. Nampak sederhana. Tapi bagiku saat itu, untuk
memulai rasanya… oh men, sulit sekali. You have no idea seberapa besar rasa
malu, dan gengsi yang harus kutekan. Tapi benar apa yang dikatakan orang-orang
kalau bisa itu karena biasa, biasa itu karena dipaksa. Setelah terus memaksakan
diri, lama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaan yang spontan kulakukan.
Ngga berhenti sampai situ, kudorong kakiku melangkah lebih jauh lagi dari
zona nyaman dengan mengikuti organisasi ROHIS. Dan seperti yang dikatakan Karen
Salmansohn,
“..taking the first step forward is always the hardest, but then each
step forward gets easier
and easier, and each step forward gets you closer and closer until
eventually what had once been invisible starts to be visible and what once felt impossible starts to feel possible.”
Iya, mengambil langkah pertama adalah part tersulit, jauh lebih sulit dibanding buang air besar tanpa pipis terlebih dahulu. Tapi setelah mengambil langkah pertama, langkah berikutnya akan terasa jauuuh lebih mudah. Dan begitulah. Setelah aku memaksakan diri setengah mati mengambil langkah pertama dengan menyapa sekitar,
bergabung dengan organisasi
ngga lagi terasa
terlalu sulit. Berinteraksi dengan para anggota yang notabene asing pun ngga lagi kerasa beban banget. Kecuali berinteraksi dengan petugas angkut di pasar, itu beban banget karena interaksinya sambil gendong beras 10 kilo.
Kalau ditanya apa sekarang aku masih introvert apa ngga, jujur jawabannya
masih, karena sampai sekarang pun aku masih suka nikmatin waktuku sendirian. Hey,
there’s a thing that can’t be changed, right? Tapi kalau ditanya apa aku masih seintrovert dulu apa ngga, jawabanku sih
NO. Ngga tau gimana mas dhani. Dengan bangga kukatakan sekarang aku ngga
seintrovert dulu. Mungkin aku ngga bisa berubah jadi pure extrovert, tapi
paling ngga aku bisa berubah jadi introvert yang lebih terbuka. Hope so. Sampai
sekarang pun aku masih terus
mencoba dan belajar. Doakan aku ya!
Berubah!
“Hidup ini indah, kita ngga
dikasih pilihan bagaimana memasukinya, tapi dikasih banyak pilihan bagaimana
menjalaninya…
…dan mengakhirinya.”