Pages

Sabtu, 19 April 2014

Comfort Zone

“Hidup ini lucu, kita dikasih banyak pilihan bagaimana menjalaninya, tapi ngga dikasih pilihan bagaimana memasukinya.”

Manusia diciptakan begitu adanya. We was born this way. Ngga bisa milih mau muka yang kayak gimana, punya kemampuan seperti apa, dan orang tuanya siapa. Kalau bisa milih, mungkin Bill Gates udah punya banyak anak dengan tampilan fisik seperti Anjelina Jolie dan Keanu Reeves, otak sejenius Einstein, hati setulus Bunda Theresa, dan karakter semenyenangkan Oprah Winfrey. Sayangnya, bagaimana kita dilahirkan itu adalah hak prerogatif Tuhan sebagai Pencipta. Kita sebagai hamba ngga punya kewenangan sama sekali. Cuman bisa menerima dan mensyukuri apa adanya kita sesuai keinginan Tuhan. Begitu pun aku.

Kalau aku  bisa milih, mungkin tulisan ini ngga bakal ada karena sang penulis cantik nan rupawan yang ekstrovert, supel, dan sophisticated sedang ngegaul bareng teman-temannya yang bejibun banyak, tersebar dari sabang sampai akhirat. Atau sedang sibuk keliling dunia dalam rangka kegiatan sosial dengan membawa nama  sebagai Miss Universe. Tapi kenyataannya ngga. Tuhan menciptakanku dengan komponen 90% air, 8% sifat introvert, dan 2% lemak.

I’m totally introvert person. Yes I am.

Sebagaimana karakteristik introvert, aku tertutup, pasif, juga sulit (dan kurang suka) bersosialisasi. I hate stranger. Aku benci berada di tengah kerumunan orang asing dan orang-orang yang ngga terlalu dekat. Ketika sedang kumpul keluarga besar, aku lebih suka ngunci diri di kamar lalu baca buku, nulis, internetan, main gitar, and other things I can do alone. Ketika sedang di jalan dan tiba-tiba melihat wajah orang yang dikenal, aku akan pura-pura ngga lihat dan balik arah. Aku benci berbasa-basi memaksakan obrolan garing macam “apa kabar?”, “lagi ngapain?”, and stuff like that. Bleh. Pergaulan dan sosialisasi pun terbatas, hanya berkutat pada sahabat yang itu itu aja. Dia lagi, dia lagi. Jumlah istri Eyang Subur sebelum cerai pun rasanya lebih banyak dari jumlah sahabat dekatku.

Sebagaimana karakteristik introvert, aku nyaman dengan kesendirian. Aku nyaman dengan ketertutupanku. Aku nyaman berada jauh dari pandangan mata orang banyak. Aku nyaman dengan pergaulan terbatas yang hanya berkutat pada sedikit orang terdekat. Aku nyaman dengan keadaanku yang seperti ini. This is my comfort zone. Masa bodo dengan mereka yang mengatakan keintrovertanku ini sebagai kelemahan. Who cares, toh aku nyaman. Kalau memang ini kelemahan, ya sudah, manusiawi kan manusia punya kelemahan? Mau diapain?

Aku pun terus menjalani hidup dalam zona nyaman, terus menutup diri dari orang asing dan terus bergaul dengan kawan yang itu-itu saja. Hidupku terus berjalan seperti itu hingga akhirnya aku dihadapkan pada realita bahwa hubunganku dengan sahabat mulai merenggang karena kami mulai sibuk dengan hidup masing-masing. Intensitas waktu kebersamaan mulai berkurang. Lambat laun kesepian pun datang.

Diantara kalian pasti ada yang pernah mengalami entah di masa sekolah atau kuliah momen ketika sedang nyaman-nyamannya tidur di kelas bersuasana tenang, tiba-tiba saja seseorang menjatuhkan kotak pensil besi ke lantai. Kalian pun terlonjak bangun karena kaget, dan setelah tersadar tiba-tiba saja rasa kantuk yang membuai tadi hilang. Ya seperti itulah rasanya. Kenyataan dan rasa kesepian membangunkanku seperti suara keras kotak pensil besi yang membentur lantai. Di titik itu aku tersadar, men, aku ngga bisa gini terus. Aku ngga bisa terus-terusan menutup diri berkutat di zona nyaman. Biar bagaimanapun aku tetap manusia biasa, walaupun dari segi wajah mirip bidadari, aku makhluk sosial, butuh orang lain. Aku ngga mau ditemukan tewas overdosis kuah rendang karena stress kesepian.

Kita diciptakan begini adanya. We was born this way. Sudah dari sananya dianugerahi Tuhan dengan karakter dan keadaan seperti ini, dengan kelebihan dan juga kekurangan. Ya beginilah. Kabar buruk, kita ngga bisa menolak kekurangan yang diberikan Tuhan. Tapi kabar baiknya, kita bisa memilih, mau dipertahankan atau diperbaiki? Mau terus bergelung dalam zona nyaman atau melompatinya keluar? Mau stuck atau move on?

Dan aku memilih move on.

Yes, I wanna move on. The script boleh menyatakan diri sebagai the man who can’t be moved, tapi maap aja, aku bukan. Hidup ini terus bergerak, siapa yang statis dia akan tertinggal. Aku ngga mau. Aku mau berubah.

Jujur, mengambil langkah pertama untuk keluar dari zona nyaman itu sulit memang. Rasa ragu-ragu, takut, minder, dan ngga yakin terus membayangi. Gimana kalau orang memandangku aneh? Gimana kalau aku ngga dipedulikan? Gimana kalau orang-orang ngga suka aku? Gimana kalau mereka memandangku sebelah mata? Apa mereka Jaja Miharja? Beribu-ribu pertanyaan bernada pesimis berseliweran di kepalaku.

Tapi akhirnya dengan bersenjatakan Basmalah dan keberanian yang ala kadarnya, kucoba untuk lebih aktif bersosialisasi dengan sekitar. Awalnya sederhana, kucoba untuk menyapa orang sekitar, misalnya mengatakan “permisi” ketika melewati tetangga, satpam komplek, petugas mall yang sedang ngepel, dan pohon besar di daerah angker. Kemudian alih-alih kabur, kucoba untuk tersenyum dan menyapa “hai” ketika bertemu dengan orang yang kukenal. Nampak sederhana. Tapi bagiku saat itu, untuk memulai rasanya… oh men, sulit sekali. You have no idea seberapa besar rasa malu, dan gengsi yang harus kutekan. Tapi benar apa yang dikatakan orang-orang kalau bisa itu karena biasa, biasa itu karena dipaksa. Setelah terus memaksakan diri, lama-kelamaan hal itu menjadi kebiasaan yang spontan kulakukan.

Ngga berhenti sampai situ, kudorong kakiku melangkah lebih jauh lagi dari zona nyaman dengan mengikuti organisasi ROHIS. Dan seperti yang dikatakan Karen Salmansohn,

“..taking the first step forward is always the hardest, but then each step forward gets easier and easier, and each step forward gets you closer and closer until eventually what had once been invisible starts to be visible and what once felt impossible starts to feel possible.”

Iya, mengambil langkah pertama adalah part tersulit, jauh lebih sulit dibanding buang air besar tanpa pipis terlebih dahulu. Tapi setelah mengambil langkah pertama, langkah berikutnya akan terasa jauuuh lebih mudah. Dan begitulah. Setelah aku memaksakan diri setengah mati mengambil langkah pertama dengan menyapa sekitar, bergabung dengan organisasi ngga lagi terasa terlalu sulit. Berinteraksi dengan para anggota yang notabene asing  pun ngga lagi kerasa beban banget. Kecuali berinteraksi dengan petugas angkut di pasar, itu beban banget karena interaksinya sambil gendong beras 10 kilo.

Kalau ditanya apa sekarang aku masih introvert apa ngga, jujur jawabannya masih, karena sampai sekarang pun aku masih suka nikmatin waktuku sendirian. Hey, there’s a thing that can’t be changed, right? Tapi kalau ditanya apa aku masih seintrovert dulu apa ngga, jawabanku sih NO. Ngga tau gimana mas dhani. Dengan bangga kukatakan sekarang aku ngga seintrovert dulu. Mungkin aku ngga bisa berubah jadi pure extrovert, tapi paling ngga aku bisa berubah jadi introvert yang lebih terbuka. Hope so. Sampai sekarang pun aku masih terus mencoba dan belajar. Doakan aku ya!

Berubah!

“Hidup ini indah, kita ngga dikasih pilihan bagaimana memasukinya, tapi dikasih banyak pilihan bagaimana menjalaninya…
…dan mengakhirinya.”