Pages

Sabtu, 19 September 2020

Single and Happy

Aku punya teman, sebut saja T, untuk perihal asmara dia ngga bisa sendiri. Selalu butuh pasangan atau setidaknya teman bercerita untuk menemani. Dia dekat dengan keluarganya. Teman pun banyak. Namun tetap aja rasanya beda katanya. Ada ruang dalam hatinya yang butuh diisi, di luar ruang untuk teman dan keluarga. Kadang dalam satu waktu dia dekat dengan banyak orang. Aku selaku teman dekatnya seringkali kepusingan. Kalau dia sedang cerita, yang dia ceritain ini laki yang mana lagi, yang punya laundry, yang kenal dari game, apa yang match di biro jodoh?

Ada lagi temanku, si I, yang dari lahir sampai sekarang tulisan ini diketik, status asmaranya masih sama. Single. Berulang kali kami selaku temannya mencoba bergerak dalam misi percomblangan, tapi semuanya gagal. Ada yang deketin dianya ngga acuh. Ada yang chat dibalas sekadarnya. Ada yang ngasih pisang nugget kami yang girang dan makan banyak. Sampai akhirnya nyerah lah kita. Capek. Dianya terlihat belum ada minat ke arah sana. Berkebalikan dengan T, I belum menyiapkan ruang lain selain untuk teman dan keluarga. 

Dua-duanya berbeda. Dua-duanya punya pandangan yang berlainan. Tapi sejauh yang kulihat, dua-duanya punya kesamaan. Mereka bahagia. T terlihat senang bercerita tentang kencannya semalam menyusuri pemandangan Jakarta malam dengan cem-cemannya entah yang mana lagi. I pun setiap hari selalu gembira, menyanyikan lagu idola kesukaannya sambil joget-joget. 

Punya pasangan emang bahagia, tapi rasanya terlalu picik kalau akhirnya dianggap jadi satu-satunya syarat untuk berbahagia. Bukankah bahagia punya banyak jalan untuk datang? Bisa dari lulus kuliah tepat waktu, dibawakan kue sepulang Mama dari pasar, diterima kerja setelah lama menganggur, atau idola favorit mengeluarkan video musik baru. Berpasangan dan bahagia? Bisa. Single dan bahagia? Bisa juga. Menjatuhkan orang dan bahagia? Itu yang bahaya. 

-19 September 2020-

0 komentar:

Posting Komentar