Pages

Senin, 22 Juni 2020

Yang Lagi Makan Jangan Baca Dulu!

Di kantorku yang dulu, manusia-manusianya dibagi menjadi dua kubu. Pembagian kubu ini ditentukan bukan dari tingkat jabatan, derajat pemasukan, ukuran pendidikan, asal kesukuan, ataupun anutan kepercayaan. Sama sekali bukan. Kubu-kubu ini dibagi berdasarkan intensitas aktifitas pencernaan, yaitu kubu jarang boker serta kubu sering boker.

Penganut kubu jarang boker cenderung chill dan santai. Hidup nrimo, ngga neko-neko. Whatever will be, will be. Yang terjadi, terjadilah. Mereka ngga suka memaksakan keadaan, sebagaimana mereka ngga pernah memaksakan aktivitas pencernaannya sendiri. Ngga mules ya ngga usah maksain boker. Semua akan datang pada waktu yang tepat, termasuk rasa mules. Begitu prinsipnya.

Berlainan dengan kubu seberang, kubu sering boker memiliki sebuah pedoman hidup bahwa boker adalah kunci ketenangan dan kesenangan batin. Boker bukan sekadar proses pelepasan residu sisa pencernaan, melainkan ritual wajib yang kalau satu hari aja ngga dilakukan, rasanya jiwa dipenuhi kegelisahan. Belum ada dorongan? Ya paksakan. Pancing pake pepaya, sayuran, atau denger Barbie Kumala nyanyi live. Secara sifat, mereka cenderung keras dan ambisius. Ngga ada kompromi. Mau ya harus. Titik.

Karena prinsip hidupnya itulah kubu sering boker cenderung memandang rendah kubu jarang boker. Boker ngga rutin tiap hari itu rasanya hal yang hina sekali, lebih hina dari orang yang patungan jajan dikit tapi makannya paling banyak. Bagi mereka, segala permasalahan hidup itu bersumber dari satu akar, yaitu pencernaan yang kurang lancar. Orang-orang dengan emosi mudah tersulut, temperamen lekas naik, cepet ngegas, dan kesabaran setipis kulit lumpia itu bukan karena kurang piknik, tapi karena kurang boker.

Ada orang ngutang tapi pas ditagih galakan dia? Pasti lagi sembelit!

Ada pasangan ketauan selingkuh tapi malah dia yang marah-marah? Pasti  sedang konstipasi!

Ada pemotor lawan arah pas keserempet mobil malah dia yang nyolot? Pasti kurang makan sayur!

Aku sendiri masuk ke dalam kubu susah boker. Kasta terbawah pula, yang kesenjangan waktu antar bokernya paling jauh. Sedih. Sapaan yang kadang kuterima dari kubu sebelah bukanlah "halo", "hai", atau "selamat pagi" seperti sapaan normal pada umumnya, melainkan pertanyaan, "udah ngga boker berapa hari lu?". Kabar bokerku lebih mengundang tanya dibanding kabarku secara keseluruhan. 

Curhat pada mereka pun kadang bukannya dapat solusi tapi ujung-ujungnya malah penghakiman atas kinerja ususku yang bagi mereka kurang optimal. Seperti saat aku curhat pada salah satu petinggi teratas kubu sering boker tentang hubunganku dengan (mantan) pacar yang sedang kurang baik. Tiba-tiba aja dia ngilang ngga ngasih kabar, kayak karyawan resign mendadak.

Alih-alih pukpuk di pundak, respon yang kuterima adalah "Lu jarang boker sih, dia ilfeel kali". Saat itu juga baru aku tau cinta bisa diukur dari intensitas boker pasangan.

Atau waktu aku harus operasi usus buntu karena usus buntuku udah bengkak. Saat kembali masuk kantor, yang kuterima bukan ucapan simpati beserta sekeranjang buah, tapi (lagi-lagi) petuah perbokeran. 

"Kak Sita kan jarang boker, itu gara-gara tai yang ngga keluar kali tu, dia numpuk, terus ada yang nyangkut di usus buntu, makanya dia bengkak". 

Seketika kenangan usus buntu kemarin berkelebat di kepala. Ya Tuhan, segala kesakitan yang aku rasakan sampai harus dioperasi, luka jaitan yang nyerinya bikin bersin aja jadi derita, masa iya gara-gara seonggok tai? Nista banget kayaknya jarang boker. Kalau gini aku mau pindah kubu aja dah rasanya!

Nb: Ini sebenarnya tulisan lama yang dari dulu kusimpan doang di draft. Tiap mau posting ragu-ragu gitu, karena ceritanya yang agak jorok takut mencoreng citraku sebagai wanita anggun, elegan, dan berkelas. Namun setelah kini kupikir-pikir boker kan manusiawi ya, seanggun dan secantik Yoona SNSD pun pasti boker juga. Yakan punya usus. Cuman yang kita ngga tau, Yoona masuk kubu mana ya dia? 

2 komentar:

  1. ahahahahha... ini nggak ada jorok-joroknya kok. lucu, tadi saya lagi kesel dgn hari ini, tapi sekrang sudah rada membaik, kepancing untuk nginget2 hal konyol dulu2 juga.

    sepengalaman saya waktu harus ke pedalaman, di mana masyarakatnya nggak punya WC di rumah, tapi kakus umum di sungai, juga permasalahkan hal begini.

    bedanya, kaum boker rutin itu menganggap yg lama gak boker sebagai keajaiban. ya, kan, antisipasi saat makan dan psikologi juga gak siap kalo harus boker di tempat baru.

    pagi-pagi mereka rebutan kakus (jamban), terus setelah selesai baru mereka takjub ke saya, kok, bisa sih nggak boker tiap pagi. sejak hari pertama, hingga terakhir, masalah gaboker pagi2 ini jadi bahasan utama melulu.

    saya ngerti, sih, kalo lama gaboker itu bisa nunjukin jeleknya pencernaan, tapi ya bagaimana, memaksa diri memakan asupan banyak yg kitanya juga gasuka malah bikin kekhawatiran dan gejala lain bisa muncul. saya sering jawab dan ganggep, pencernaan saya emang lambat, dan pelit, gamau nutrisi makanannya terbuang meski sebesar biji zarah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Buat beberapa orang boker emang dianggap sesakral itu ya, sampai urusan perbokeran orang lain pun jadi sorotan. Padahal cukuplah ya untukmu bokermu, untukku bokerku.

      Hapus