Pages

Kamis, 04 Juni 2020

(Fiksi) Dunia Aladita - 5

Senin, 4 Februari 2019

Ada kabar baik dan kabar buruk hari ini. Kabar baiknya, ulangan biologi hari ini sukses! Yes yes! Percaya diri nih aku, minimal 70 mah dapet lah. Ruri memberi catatan pada aku dan Joan tentang mana-mana aja yang kemungkinan keluar berdasar kisi-kisi dari Bu Eka. Hampir sebagian besar keluar di soal. Sisanya aku lupa. Biarlah, nilai sempurna itu biar jadi bagian Ruri.

Kabar baiknya lagi, acara menginap hari Sabtu kemarin seru sekali, serasa piknik. Kami bikin acara bakar-bakar di pekarangan, ditemani kak Nico, kakak Joan yang juga ngga ikut ke Malang. Setelah menghabiskan banyak jagung, sosis, ayam, dan daging sampai bergerak aja sulit karena kapasitas perut yang penuh, kami duduk-duduk santai di pekarangan, diiringi suara dan alunan gitar dari Kak Nico. Syahdu sekali. Baru besok paginya aku dan Joan (yang dibangunkan dengan penuh perjuangan oleh Ruri karena sulitnya kami berdua melepaskan diri dari dekapan guling) belajar untuk persiapan ulangan.

Menginap di rumah Joan membuat aku melihat secara dekat hubungan antara Joan dan Kak Nico. Sebagai kakak, Kak Nico ini baik banget. Aku jadi iri pada Joan. Beruntung sekali dia. Andai aku juga punya kakak laki-laki yang suaranya bagus, jago main gitar, bisa nyetir mobil, bisa potong ayam, bisa bakar sate, bisa cuci piring, mau buang sampah, mau jajanin bubur ayam, dan ngga takut kecoa, pasti membahagiakan sekali. Tapi apa daya yang aku punya adalah Ale, adik laki-laki yang kesulitan ngomong R, masih belajar untuk lepas pampers, dan yang terburuknya, manipulatif.

Nah ini dia kabar buruknya. Aku sama sekali ngga nyangka, untuk ukuran balita yang membaca saja belum lancar, Ale punya akal yang sangat cerdik menjurus ke licik. Insiden terinjaknya mainan Ale tempo hari yang membuatku harus membelikan mainan baru itu ternyata sama sekali bukan kecelakaan atau ketidaksengajaan, melainkan sebuah taktik terencana. Itu semua trik!!

Tadi secara ngga sengaja aku menyaksikan sepak terjangnya dengan mata kepalaku sendiri. Ale menyelipkan hot wheelsnya yang sudah lama ke bawah karpet, bermain dengan anteng di dekat situ sambil menunggu ada yang lewat, lalu ketika Ayah lewat dan menginjak hot wheelsnya, dia menangis dan meminta dibelikan hot wheels baru beserta lintasannya. Setelah Ayah mengiyakan, baru Ale berhenti menangis. 

Astaga

Jadi itu semua disengaja. Sebuah trik untuk dapat mainan baru. Aku dan Ayah sudah terjebak taktiknya. Aku ngga percaya. Anak usia tiga tahun bisa punya akal bulus semulus itu. Sukses pula, berhasil mengadali orang dewasa berkali-kali lipat dari usianya. Entah Indonesia harus bangga atau waswas punya generasi penerus masa depan bangsa seperti Ale.

Tapi ngga bisa kupungkiri, keberhasilan Ale membuatku tergoda untuk mencobanya juga. Taktik Ale dulu membuatku kehilangan isi dompet, jadi ngga papa dong kalau aku meniru triknya. Hitung-hitung sebagai ganti rugi. 

Aku pun mencoba trik yang sama, menyelipkan lip gloss berwarnaku yang sudah hampir habis ke bawah karpet. Pas sekali, ngga lama Ibu lewat, menginjak lip glossku sampai terdengar bunyi "kraaak". Yes, Ibu terjebak! Aku menghampiri Ibu sambil marah-marah dan meminta ganti dibelikan yang baru. Berhasilkah? 

SAMA SEKALI NGGA. 

GATOT ALIAS GAGA TOTAL. 

Ibu malah balik memarahiku katanya salah sendiri naruh barang sembarangan, kok bisa-bisanya ada disitu, nyimpan sesuatu harus yang rapi di tempatnya, udah besar jangan sembrono, belajar rapi, bukannya bantu Ibu beberes malah ngeberantakin asal naruh barang, nanti kalau hilang Ibu lagi yang ditanya disuruh cari, bla bla bla bla... Panjang lah jadinya. Lebih panjang dari amanat Pembina di upacara bendera. Sampai kesalahanku yang lalu-lalu pun turut dibahas. Menyesal aku ngikutin Ale.

0 komentar:

Posting Komentar