"Assalamualaikum, aku pulang."
Hening. Ngga ada jawaban. Sudah pasti. Walaupun aku sudah tahu
ngga bakal ada yang jawab, tapi sudah jadi kebiasaan yang ditegakkan oleh Ibu
untuk mengucap salam ketika masuk rumah. Biasanya Ibu yang akan menjawab lalu
menanyakan apa aku sudah makan atau belum, tapi kini hanya hening yang
menjawab.
Aku
melempar tas sembarangan dan segera mengenyakkan diri di sofa. Ngga masalah.
Toh ngga ada Ibu yang bakal marah-marah nyuruh aku untuk ngeletakin di tempat
yang benar. Dulu aku sebal. Tapi sekarang aku berharap sekali omelan itu
terdengar lagi. Benar ya apa kata orang, seringkali kita baru sadar betapa
berharganya suatu hal setelah hal itu hilang.
Aku
masih ingat sekali, seakan baru terjadi kemarin. Saat itu pukul 3 sore. Aku masih
di kantor, masih menyelesaikan design website pesanan klienku. Tiba-tiba
handphoneku berbunyi. Dari Bu Handoko, tetanggaku. Dengan suara bergetar penuh
isak, ia mengabarkan kalau Ibuku tertabrak mobil di jalan depan rumahku.
Pikiranku mendadak kosong. Tubuhku terasa kebas. Nafasku sesak. Ibu pergi, menyusul Ayah yang sudah lebih dulu dijemput malaikat Izrail ketika aku masih di perut Ibu. Ibu pernah bilang laki-laki harus kuat, pantang meneteskan air mata. Tapi aku ngga bisa
mengendalikan kelenjar air mataku saat itu. Dan saat ini juga.
Hari
ini tanggal 5 Oktober. Tepat 4 bulan Ibu pergi. Sungguh aku rindu sekali pada
Ibu. Dan tiba-tiba saja rinduku menjelma sesak yang memompa kelenjar air
mataku. Dan seperti anak kecil, aku menangis hingga ngga sadar aku ketiduran. Tiba-tiba saja aku terbangun karena
alarm hapeku berbunyi. Jam 5 subuh. Aku menghempas selimut dari badanku dan
segera menuju ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Saatnya mengirim doa untuk
Ibu dan Ayah.
0 komentar:
Posting Komentar