Pages

Rabu, 23 September 2015

Pertamaku

Saat itu jam santai. Dan udah kodratnya perempuan kalau ngumpul sama kawanannya hal yang dilakukan pastilah ngerumpi. Aku dan kawan sekantorku ngobrol ngebahas macam-macam hal, dari alis Ivan Gunawan, sampai hukum kekekalan energi Einstein, semua dibahas. Entah bagaimana jalan ceritanya, tiba-tiba sampailah kami pada topik tentang dia yang pertama. Ramai teman-temanku berkisah tentang sosok pertama mereka, sementara aku lebih banyak diam menyimak. Pikiranku pun terbawa, lalu secara ngga sadar berkelana ke masa lalu dengan mesin waktu bernama kenangan, menemui dia, pertamaku. 

Pertamaku, laki-laki berambut ikal yang kutemui ketika pola pikir, seragam, dan masa depan bagiku masih abu-abu. Masa ketika ketawa wkwkwkwk masih gaul dan gorengan harganya masih 500 perak. 

Pertamaku bukan anak populer yang dikenal semua angkatan karena aktif di ekskul atau organisasi. Bukan juga anak nakal yang sering ditempatkan di barisan berbeda tiap upacara karena datang terlambat atau lupa pakai topi. Pertamaku adalah laki-laki pendiam dengan dunia di balik buku, yang ketika istirahat siang tujuan pertamanya adalah masjid, bukan kantin sekolah. Sedangkan aku saat itu hanya bocah remaja biasa yang masih suka ngemutin jari berbumbu bekas ciki. Kalau ditimbang dari berbagai aspek seperti karakter, penampilan, rupa, sifat, latar belakang, ideologi, serta visi dan misi, jelaslah ngga sedikit pun aku masuk dalam kriterianya. Maka dari itu, aku mutusin untuk nyimpan perasaan aku sendiri dan ngagumin dia diam-diam dari jauh. Jadi pemuja rahasia.

Selain panas dan listrik, cinta pun harusnya turut dicantumkan dalam buku IPA sebagai salah satu sumber energi. Terbukti, aku ngga pernah kekurangan energi dan semangat untuk berangkat lebih pagi ke sekolah. Selain mau nyalin PR yang belum dikerjain, juga berharap supaya bisa ketemu dia yang suka datang pagi. Bahagiaku saat itu ngga susah, hanya dengan ngelihat sosok dia dari kejauhan selama beberapa detik, cukup bikin aku cengar-cengir dengan wajah sumringah macam orang mabok tuak. Ngga perlu jauh-jauh mendaki gunung sampai berapa ribu mdpl untuk mengagumi ciptaan Tuhan, menjumpai dia pun udah cukup ngebuat mulutku menyebut nama-Nya mengucap puji-pujian.

Sayangnya, hokiku di urusan asmara ini lumayam apes. Aku ngga cukup beruntung untuk bisa ngejumpai sosoknya sesering yang aku mau. Ngga jarang aku berkhayal, berimajinasi tentang aku dan dia, dua pemeran utama yang dengan seringnya dipertemukan secara ngga sengaja oleh semesta. Khayalan dari yang sinetron banget macam aku dan dia ngga sengaja tabrakan di lorong sekolah berlanjut dengan kita bertatap-tatapan lama banget diringi lagu Yovie n Nuno, sampai yang ngga masuk akal tentang alien yang datang ke bumi ngasih aku dan dia kekuatan, lalu kita berdua sama-sama menumpas kejahatan di bumi. Yah, cinta emang kadang ganggu akal sehat.

Tapi kadang khayalan aja ngga cukup. Ada rindu yang jengah dengan wujud yang hanya bayang-bayang. Maka istimewalah hari Sabtu. Di sekolahku dulu, hari belajar efektif cuma dari Senin sampai Jumat. Sabtu bebas, bagi yang ada kegiatan ekskul dipersilahkan datang, bagi yang udah gumoh sama sekolah, di rumah aja pun ngga masalah. Sekarepmu. Maka hari Sabtu, sekolah ngga terlalu ramai macam hari biasa. Banyak ruangan kelas yang kosong ngga terpakai. Termasuk kelas dia. Kadang sehabis ekskul, kusempatkan untuk mendatangi kelasnya, menjumpai bangku yang terakhir kali dia duduki atau membaca deret namanya di jadwal piket kelas. Cukup dengan itu pun aku bahagia.

Hal lain yang kulakukan yang juga pasti dilakukan para pemuja rahasia seantero jagat semesta adalah mencari informasi tentang dia. Sedetail mungkin. Sebanyak-banyaknya. Kalau perlu berapa rata-rata asupan kalori yang masuk per hari pun cari tau. Informasi tentang dia, seremeh apapun itu, bagiku berharga banget. Aku pun tau banyak tentang dia. Dia orang Jawa, suka warna biru, ngga suka sepak bola, dan suka pelajaran IPA makanya dia masuk IPA. Seringkali aku membuncah bahagia ketika mendapati ada kesamaan antara aku dan dia, entah membaca buku yang sama, menyukai lagu yang sama, atau cebok dengan tangan yang sama, tangan kiri. Benakku berspekulasi sekaligus berharap, bisa jadi kesamaan itu pertanda kalau kami jodoh.

Temanku bilang cinta diam-diamku mengenaskan. Dia juga bilang aku mengiriskan. Dan dia pun bilang kalau cintaku ngga cukup besar karena baru dihantam gengsi aja babak belur lalu mundur. Aku balas bilang ke dia, cintaku emang ngga besar, kecil aja seukuran pasfoto, jadi bisa aku masukin dalam dompet dan aku bawa-bawa kemanapun pergi bareng KTP. Eh, kartu pelajar deng, masa itu kan belum punya KTP.

Seperti pelari yang lari di tempat, ngga beranjak ke mana-mana tapi energi terkuras habis. Jangan berharap bisa jadi pemenang yang pertama melewati garis finish, melangkah maju aja ngga. Begitulah kondisiku. Jangan berharap bisa jadi sesuatunya dia, eksistensiku aja dia ngga pernah sadar. Bisa ngilangin monas lalu munculin lagi di Jonggol bagiku bukan keajaiban. Kejaiban bagiku adalah ketika dia, sosok kita menaruh rasa, ternyata punya perasaan yang sama. Itu, keajaiban semesta yang bagiku hanya mitos.

2 komentar:

  1. sepertinya aku masih belum berdamai dengan masalalu, hingga masih terasa sulit untuk melangkah maju..aah berbahagialah kalian :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Berbahagialah juga kamu, kisanak. Belum berarti akan. Soon. Kalem.

      Hapus