Pages

Jumat, 20 Juni 2025

Yang Ngga Pernah Berubah

Salah satu hal yang kurasa makin sulit dilakukan pada rentang usiaku sekarang, yang sudah masuk ke dalam target pasar dari iklan-iklan Agnes Monica, adalah me-maintain hubungan pertemanan. Apalagi teman lama yang udah terpencar ke banyak arah.

Gimana yah, me-maintain itu kan butuh waktu dan effort ya, sedangkan dewasa ini hampir sebagian besar hidup isinya tanggung jawab, dan itu menyita banyak sekali waktu dan energi.

Ada pekerjaan yang jadi rutinitas harian. Ada keluarga yang butuh diurus. Waktu udah ngga sebebas dulu yang diajak hayuk langsung gas. Kalaupun ada waktu kosong pengennya rebahan aja, karena buat mikirin nanti masak apa aja energi udah kepake banyak.

Yang tadinya rutin berkontak akhirnya mulai jarang. Yang udah jarang akhirnya lama-lama hilang. Masing-masing sibuk dengan hidupnya yang sekarang. Tapi kadang ketika muncul hal-hal yang memicu kenangan, selalu ada ingatan yang datang.

"Film ini dulu kan aku tonton sama Si Ini."

"Ini kan lagu yang sering dinyanyiin sama Si Ini."

"Dulu Si Ini ngefans banget sama artis ini."

Kadang ada muncul keinginan untuk mengirim pesan dan berkontak lagi, tapi aku bingung. Terlalu panjang waktu berlalu. Terlalu banyak hal terlewatkan. Harus mulai dari mana? Apa yang harus aku katakan? Dulu kayaknya apa aja bisa jadi obrolan, sekarang membuka topik aja aku kebingungan.

Tapi beruntungnya ada medsos, dari sana seengganya aku tau sedikit kabar dari mereka. Ada yang baru melahirkan anak kedua. Ada yang sekarang punya hobi lari. Ada yang melanjutkan sekolah ke luar negeri. Ada yang menekuni profesi yang sudah jadi mimpinya dari dulu. Ada yang selalu membagikan hal-hal lucu dan menyenangkan tentang anaknya.

Padahal ngga ikut terlibat dan hanya melihat sekelibat, tapi ada rasa senang ketika tau teman-temanku menjalani hidupnya dengan baik. Sehat, berbahagia, menikmati hidupnya sekarang.

Mungkin sekarang sulit untuk hadir lagi mengulang rasa dan kenangannya. Mungkin obrolan terpanjang saat ini hanya balasan komentar yang berakhir dengan stiker atau emoji. Tapi semua yang udah dijalanin sama-sama masih ada, aku simpan dalam hati dan kepala. Disana kalian selalu sama seperti dulu. Ngga pernah berubah. 

Kamis, 12 Juni 2025

Cerita Temanku

Aku bukan orang dengan energi sosial yang tinggi. Temenku ngga banyak, bisa dibilang itu-itu aja. Dibandingkan dengan mantan-mantannya Raffi Ahmad aja masih jauh lebih banyak total mantannya. Hampir semua temenku pun tipikal yang normal. Yang adem ayem, baik-baik, ngga banyak berkonflik. Ada aneh-aneh pun paling mentok make sendal beda sebelah.

Makanya aku amaze banget ketika ada temen kantorku yang lingkaran sosialnya luas banget, yang kalau bulan puasa ada setahun pun kayaknya bisa tiap hari bukber sama sirkel yang beda-beda saking banyaknya.

Temen-temennya pun beragam, mencakup semua kalangan. Dari tipe-tipe ambis belajar, sampai yang anehnya bikin aku mikir "Oh, orang begitu ternyata beneran ada ya, kirain cerita sinetron doang". Dari yang masyarakat biasa, sampai pas kemaren ada selegram yang beritanya lagi trending, dia tiba-tiba bilang "Eh waktu dia nikahan kan gua dateng tuh."

Widih.

"Set, temen lu macem-macem banget dah. Jangan-jangan lu juga punya temen yang jadi admin judi di Kamboja ya?" aku ngomong asbun aja.

"Iya, emang ada."

"Hah??"

"Yang jadi LC juga ada."

"HAHH???"

"Yang video syurnya pernah viral di internet juga ada."

"HAAAAAHHH???"

Siapa itu Vidi Aldiano??? Harusnya dia nih yang jadi Duta Persahabatan Indonesia.

"Wih, kok.. kok bisa sih punya temen yang beragam macem-macem gitu?"

"Yah.. lu punya banyak temen dulu mbak.."

Anjay.

Singkat, padat, ngga punya banyak temen.

Senin, 28 Oktober 2024

Fase Nakal

Bukan sombong atau pick me atau kepedean ngaku-ngaku sendiri yah, tapi bisa dibilang aku adalah salah satu manusia yang punya reputasi baik. Sumpah. 

Teman kantorku punya suami yang agak protektif. Kalau pergi kemana-mana, perizinannya agak sulit. Ngga semudah itu dapat approval. Ada interogasi dulu yang dilakukan. Mau kemana, sama siapa aja, ada cowoknya atau ngga, pulang jam berapa, mau ngapain aja, sebutkan belalang bernafas dengan apa, dan pertanyaan lain yang prosesnya panjang. 

Tapi begitu namaku disebut sebagai salah satu peserta yang ikut pergi, izin langsung disetujui. Oh ada Mbak Rosita, aman berarti. Boro-boro mabok ciu, separah-parahnya paling mabok karbo karena lanjut jajan kentang goreng habis makan Indomie. Wajah ini lugu bukan tanpa alasan. Akulah Rosita, si anak baik-baik. Ngga pernah nakal, ngga pernah aneh-aneh, kecuali makan biji salak pake bumbu kacang.

Tapi belakangan aku ngerasa aku sedang masuk fase rebel karena aku ngga se-anak-baik biasanya. Aku mulai terlibat dengan ulah nakal.

Seumur hidupku, aku madol cuma sekali. Itu pun waktu sudah kuliah, saat mata kuliah statistik. Awalnya temanku, si Kutilang mengompori. Lalu temanku satu lagi si Beruang mengipasi. Si Jerapah tergoda dan ikut merayu. Aku pun terhasut. Akhirnya kami berempat membolos, pergi main ke Taman Kota. Itu pengalaman madol pertamaku. Dan hari ini, daftarnya bertambah menjadi dua kali pengalaman. Iya, hari ini aku madol.

Tadi sore, tergoda rasa lapar karena makan siang yang ngga mengenyangkan, aku dan seorang temanku, Alfi, menyelinap keluar kantor lalu kabur jajan ke warung. Lebih parah lagi, sebelum kabur ke warung, kami juga sempat malak teman kami karena ngga ngantongin duit. Huhu apakah aku sedang memasuki fase nakal yang terlambat karena sebelumnya ngga pernah nakal?

Yang Mengesalkan dari Jarak

Berapa hari lalu, suamiku dipercaya untuk memberi kata sambutan pada suatu acara. Sebagai istri, tentu aku bangga. Bangga sekali malahan. Dari sekian banyak orang terlibat, yang diberikan kehormatan itu adalah suamiku. Sebagai suporter militan garda terdepan, tentu inginnya aku menyaksikan langsung. Bersorak paling keras dan bertepuk paling kencang untuknya. Namun sial dan menyebalkannya, kami sedang terpisah jarak. Aku di Tangerang, dia di Pekanbaru. Bukan jarak yang bisa diupayakan dengan naik ojol. Maka sangat disayangkan, aku ngga bisa hadir. 

Sebagai kompensasi ketidakhadiranku, dia mengirimkan video saat dia di atas panggung. Video yang durasinya hanya satu menit. Terpotong dari tengah dan tidak tuntas sampak selesai. Tidak ada lagi video lain karena katanya tidak ada yang merekam. Bukan hal besar, toh hanya kata sambutan biasa, katanya. Dan tepat saat itu, tiba-tiba sedih itu datang. Menghantam keras. Kencang sekali.

Betapa berjarak itu sungguh..  menyebalkan. Dan menyedihkan. Karena jarak, entah sudah berapa banyak hal yang terpaksa kulewatkan dan hanya bisa kudengar bagian ceritanya. Entah berapa banyak momen berjalan tanpa ada aku di dalamnya. Seperti acara kemarin salah satunya. Tak peduli bagi orang lain seremeh apa, tapi semua hal baik yang terjadi pada suamiku, semuanya ingin kurayakan. Semuanya ingin turut kurasakan langsung. Semuanya ngga ingin aku lewatkan. Sialan memang jarak.

Dari situ aku sadar, yang paling mengesalkan dari berjarak bukanlah rindu (walaupun iya, itu mengesalkan juga). Yang paling mengesalkan adalah ketidakbisaan untuk hadir secara langsung pada waktu yang sangat kita inginkan. Untuk merasakan langsung. Untuk menikmati langsung. Untuk terlibat langsung. Untuk sepenuhnya hadir. Bukan sekadar video singkat satu menit yang bahkan tidak utuh. Sialan, jarak memang sialan. 

Kalau membayangkan banyak lagi hal yang terpaksa aku lewatkan karena ngga bisa hadir, rasanya aku ingin meyakini saja kalau bumi ini benar datar. Dengan begitu mungkin jarak ini bisa aku lipat jadi lebih dekat. 
Kamis, 27 Juni 2024

Tentang Kopi

Aku bukan pecinta kopi. 

Awalnya.

Abahku adalah seorang peminum kopi. Setiap hari, setidaknya 3 kali sehari, selalu tersaji secangkir kopi panas untuk Abah. Aku pernah baca, katanya seseorang harus berlatih selama total 10.000 jam untuk jadi seorang ahli. Menghitung jam terbang Abah meminum kopi sudah sangat lama, harusnya Abah sudah bisa dibilang ahli meminum kopi. Master malah. Kalau mau bikin perguruan sendiri sudah terbilang mampu.

Melihat Abah yang sangat menikmati meminum kopi, aku yang saat itu masih kecil jadi penasaran. Wah, rasa kopi seperti apa ya? Kok nampak sedap sekali? Warnanya hitam, apa jangan-jangan sebenarnya kopi itu Coca Cola versi panas? Atau cuko pempek versi manis? Rasa ingin tahuku kala itu melambung tinggi.

Ngga mampu menahan rasa penasaran, aku pun bertekad untuk mencicipi kopi. Maka saat Abah sedang beranjak ke kamar mandi, aku menyeruput gelas kopi abah. 

"Hoeeeeeeekk!"

Apaan ini?????

3 kata untuk menggambarkan kopi yang kuminum saat itu. Pahit, getir, panas. Aku mengernyit, ngga habis pikir, apa yang Abah nikmati dari minuman pahit seperti ini??? Jelas-jelas lebih enak Nutrisari. Kalau emang suka pahit, kenapa ngga minum obat puyer dokter aja sekalian?? Pahitnya dapat, ditambah bonus sehat pula. Ngga ngerti banget. 

Aku segera lari ke dapur mengambil gelas, menuang air, dan minum banyak-banyak untuk menghilangkan rasa pahit dari lidah. 

"Ih, aku ngga suka kopi!" Ucapku kala itu sambil bergidik, menjadi titik awal ketidaksukaanku pada kopi.

*****

Beranjak SMP. 
Kata orang, masa remaja adalah masa yang indah, peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Akalnya sudah lebih maju dari anak-anak untuk mengerti kalau biji jeruk yang tertelan ngga akan tumbuh di perut, tapi tanggung jawabnya belum sebesar orang dewasa yang harus menanggung biaya telepon mahal karena anaknya berkali-kali voting Kia AFI supaya ngga tereliminasi (berdasar kisah nyata Mamaku). 

Masa remaja adalah masa-masa naif memandang dunia. Apa itu kerasnya kehidupan? Belum kenal, kawan! Masalah terbesar yang dipunya kala itu adalah ulangan fisika besok. Dan belum belajar. Dan gurunya galak. Mampus.

Aku melihat jam. Jam delapan malam lebih. Aku sudah mulai ngantuk tapi materi untuk ulangan besok belum selesai dipelajari. Mata mulai berat, berasa beban hidup kupanggul di mata, bukan di punggung. 

Aku mengucek mata. Godaan untuk tidur membesar, sebesar bisikan untuk membakar buku pelajaranku dan meminum abu bakarannya dicampur air. Syukurlah sebelum cara itu kulakukan dan berakhir masuk UGD, ide lain terlintas di kepala. Kopi kan katanya bikin melek. Apa minum kopi ya biar ngga ngantuk? Namun ingatan saat dulu meminum kopi Abah muncul. Aku ragu. Lalu kulihat buku pelajaranku. Buku fisika untuk SMP. Aku tersentak. Raguku menghilang. 

Hei, aku kan sudah SMP! Meski ngomong masih cadel, tapi aku sudah besar! Bukan anak kecil lagi! Dulu aku masih bocah, makanya ngga suka. Siapa tau aku yang sekarang, yang sudah lebih dewasa, bisa meminum kopi! 

Aku beranjak ke dapur. Merebus air, menuang 1 sendok teh gula dan 1 sendok teh kopi bubuk ke cangkir, sesuai takaran kopi Abah. Air mendidih. Kutuang air panas ke cangkir. Kini di depanku teronggok secangkir kopi panas yang mengepul. 

This is it. The moment of truth. 

Akan seperti apa ya rasanya? Aku menelan ludah. Kuputuskan untuk mencicipi dulu sedikit dengan sendok. Kuseruput pelan-pelan. 

Ugh. 

Rasanya masih terasa kurang menyenangkan, sama seperti yang kuingat. Pahit. Kutambahkan sesendok lagi gula supaya rasanya lebih ramah untuk lidah. Kuseruput lagi. Masih kurang menyenangkan tapi lebih baik. Kutambahkan lagi gula, terus sampai kurasa layak untuk dikonsumsi tanpa harus mengernyit kepahitan. Apa itu diabetes? Belum paham, kawan!

Seperti Tsubasa yang tiba-tiba flashback teringat kenangan indahnya bersama bola lalu semangat juangnya muncul lagi, seketika energiku seperti terisi kembali. Uwooooh!! Mataku cerah! Aku ngga ngantuk lagi! Aku siap belajar lagi! Mana sini gaya, percepatan, gravitasi, arus, hambatan, gaya, tegangan, mau keroyokan maju sekaligus juga aku ngga takut! Wani aing! Kadieu sia!

Aku pun berkutat di depan buku dengan khusyuk. Mempelajari bab demi bab tanpa halangan. Lancar jaya. Sampai tiba-tiba terasa sesuatu. Aku merasakan gejolak. Bukan, bukan jatuh cinta. Terasa gejolaknya dalam perut, bukan dalam dada. Semakin lama semakin terasa aneh. Kembung melilit diiringi rasa mules menggetarkan bokong. Aku melirik cangkir kopi yang tinggal tersisa ampasnya. Ini pasti gara-gara dia! 

Ngga kuat menahan mules, aku tergopoh-gopoh lari ke kamar mandi. Orang-orang selama ini salah kaprah. Sebenarnya kopi bukan bikin melek, tapi bikin sakit perut sampai mau ngga mau harus melek gara-gara mules. 

Momen mules itu menjadi titik kedua yang menambah alasan ketidaksukaanku pada kopi.

*****

Waktu berjalan. Hari berganti. Usia bertambah. Lemak menyembul. Pinggang meringkih. Aku sudah sepenuhnya dewasa. Inilah aku, Rosita si budak korporat. Melewati Senin sampai Jumat dengan rutinitas yang sama. Berangkat kerja, sarapan, kerja, mikir makan siang, kerja, makan siang, kerja, jajan, kerja, jajan, kerja, lalu pulang. Ulangi lagi sampai lima hari seminggu. 

Mungkin karena melihat hobi, passion, dan keahlian para karyawannya adalah jajan, sebuah pencerahan muncul di kepala Bos.

"Aha, akan kubuat kafe di sini untuk karyawanku jajan, sehingga gaji dariku untuk mereka akan kembali lagi padaku! Fufufu.."

Itulah perbedaan bos dan karyawan. Bos punya otak bisnis, karyawan punya otak mesum.

Singkat cerita, jadilah kafe percis di depan kantor. Nama baristanya Dita. Barista paling cihuy nomor satu se-Depok Raya dan sekitarnya (kenalan aku yang orang Depok dan profesinya barista dia doang soalnya). Sebagai barista, Dita ini baik banget. Mau gimanapun aneh request pesenan kopi yang datang, tetap diterima dan dibikinin. Tapi ngga tau ya, apa request aneh-aneh itu dibikin dengan ikhlas atau sebenarnya dalam hati menyimpan keinginan untuk ganti bubuk kopinya pake bubuk abate. Seperti waktu pertama kali aku pesen kopi.

Dita : espressonya segimana?
Aku : uh, dikit aja, dikit.
Dita : setengah shot?
Aku : lebih dikit lagi.
Dita : seperempatnya?
Aku : lebih dikit lagi.
Dita : ah ribet! Gua tuang pelan-pelan, ntar lu bilang stop dah!
Aku : iya dah..

Aku nurut aja, takut bikin Dita kesel. Orang kalau udah kesel suka nekat soalnya. Apalagi dia orang Depok. Di Depok kan ada Ayah Ojak.

Dita : *menuang espresso dengan pelan ke dalam cup yang sudah berisi es batu dan susu*
Aku : udah, udah! Stop, stop!
Dita : hah? Baru dikit lho, baru berapa tetes doang!
Aku : iya ngga papa, segitu aja.
Dita : idihh apaan sih nih, bukan kopi ini mah, susu rasa kopi! Ngga ada pait-paitnya!

Dita memandang aku dengan sebal, tatapannya seolah berkata "ribet lu, besok-besok seduh sendiri aja kopiko pake air panas!", lalu menyerahkan satu cup es kopi susu yang lebih mirip adonan pukis keenceran saking pucat warnanya. 

******

Jam 2 siang. Semua serius bekerja. Suasana hening, hanya ramai suara tak tik tak tik tak tik (suara ketikan komputer ya, bukan suara sepatu kuda). Aku menguap untuk yang kesekian kalinya. Ngantuk banget. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba mengusir kantuk. Andai ngantuk kayak tawon, bisa diusir dengan bilang "pait, pait, pait". 

Aku menguap lagi. Duh, nyerah deh, ngga kuat. Aku memutuskan pesan kopi ke Dita. Tapi kalau pesen kopi pucet biasa kayaknya ngga bakal ngefek. Wong kafeinnya numpang nama doang, ngga ada kontribusi.

Aku : Bandit (ini panggilanku untuk Dita. Berasal dari Mbak Dita. Mbadita. Mbadit. Badit. Bandit), mau kopi dong. Tapi espressonya ditambah ya, lebih dari takaran biasa. Ngantuk banget.
Dita : seriusan? Oke!

Aku ngga berekspektasi banyak. Kalau ternyata mules, ya udah, ada WC ini. Kalau ternyata pahit dan aku ngga suka, ya udah, aku unjuk rasa ke Dita, demo menolak bayar. Dalam pikiranku, yang penting ngga ngantuk lagi. 

Ngga lama pesanan kopiku jadi. Kali ini visualnya seperti kopi susu normal pada umumnya, warna cokelat susu keruh.

Aku menyedot es kopi susuku. Awal tegukan terasa manis, lalu ngga lama muncul sensasi rasa pahit. Beberapa sesapan kemudian, aku tersadar. Di akhir tegukan rasanya pahit. Pahit yang membekas. Tapi anehnya, kali ini pahitnya bisa kuterima. Ngga lagi terasa mengganggu, aku bisa terus menyesapnya tanpa harus buru-buru minum air putih agar pahitnya hilang. Aku bisa bertoleransi dengan rasa pahit. Wah, aku bisa minum kopi. 

Lidahku sudah bisa menerima kopi. Sayangnya lambungku belum. Masih terasa mules setelahnya. Tapi efeknya ngga separah dulu. Yang kali ini tertahankan. Dibawa boker dia mereda. 

Wah, aku bisa minum kopi. Akulah Rosita, orang dewasa peminum kopi.

Apa karena terbiasa minum es kopi susu pucet ya, lambung dan lidahku lama-lama beradaptasi sehingga akhirnya bisa menerima kopi yang masuk? Kopi sekarang bisa kunikmati dengan senang. Nyaman di lidah, ramah di lambung. Masih ada terasa sedikit getir, tapi di dompet. Kalau benar karena es kopi susu pucet, aku jadi merasa bersalah karena udah bilang dia ngga ada kontribusinya. Huhu, maafkan aku ya es kopi susu pucet.

Senin, 28 Desember 2020

Sumpah, Nyesel!

Petttt!

Suasana mendadak gelap. Semua perangkat yang bersumber energi listrik tiba-tiba meregang nyawa. Mati.

"Aaaa, file gue belum disave!!!"

"Aaaa, hape gue lowbat belum dichas!!!"

"Aaaa, filmnya mau mulai ya?"

"Lu kata bioskop woiii!!!"

Hari itu, pemadaman listrik menimpa sebagian besar wilayah Jakarta, termasuk kantorku. Berhubung hampir semua aktifitas kerja di lantai tiga dan empat menggunakan komputer, maka mati listrik berarti mati gaya. Di kantor ada jenset sih, tapi masih dalam bentuk rencana, jadi belum bisa dipake. Ngga banyak yang bisa dilakukan di tengah ruangan gelap dan perangkat kerja yang ngga bisa nyala selain beberes dokumen, main tebak bayangan dilatari senter hape, atau mengadakan doa bersama semoga teknisi PLN bergerak cepat.

Ngga berapa lama, telepon di ruanganku bunyi.

"Halo?" Aku mengangkat telepon.

"Sita, Sita, ke lantai tiga sini, Mami lagi cerita serem!" Terdengar suara Dini, temanku penghuni lantai tiga. Mami itu senior manajer lantai tiga dan lantai empat. Bisa dibilang kepala suku kami. Sesepuh. Ketua geng. Ibu kita. Kalau Ibu kota itu Jakarta.

"Iya?? Waaaa, nanti aku turun deh!" Kataku bersemangat. Aku memang punya ketertarikan dengan cerita-cerita mistis. Kombinasi yang aneh sebenernya, gampang ketakutan tapi doyan cerita mistis. Biarlah, seengganya ngga seaneh orang yang getol ngajakin ngumpul tapi pas hari H tiba-tiba bilang ngga bisa dateng di last minute. Sumpah, itu aneh banget.

Di ruangan lantai tiga, nampak teman-teman yang lain sudah duduk melingkar mengelilingi Mami di tengah-tengah, macam anak pramuka lagi ngelilingin api unggun di acara Persami. Suasana mencekam, gelap dan sunyi. Di ruangan ini ngga ada jendela yang mengarah langsung ke luar, maka ketika listrik mati, lagi melek pun rasanya kayak lagi merem saking gelapnya. Untunglah ada sedikit remang cahaya dari layar hape.

"Sini Sita, duduk sini!" Dini menyilakan aku duduk di sebelahnya. Aku duduk, ikut menyimak Mami yang sedang bercerita tentang gangguan-gangguan mistis di rumahnya. 

Mami bercerita dengan suara rendah, nyaris seperti bisikan. Bikin indeks keseraman ruangan naik melebihi ambang batas normal.

"..pembantu Mami sering tuh digangguin. Pernah waktu itu dia lagi mandi, terus tiba-tiba ada suara orang bisik-bisik di telinganya. Was wes wos gitu.."

Hening. Semua nampak serius menyimak Mami.

"Adek Mami malah ngeliat, sosoknya gede, berbulu, badannya kurus sampai bentuk tulangnya keliatan. Pas adek Mami lagi tidur, itu makhluk iseng ngedudukin adek Mami!"

Di tengah cahaya yang temaram, tampak raut-raut wajah yang menegang. Beberapa mencengkeram lengan teman sebelahnya.

"Bokapnya Mami juga. Lagi di dapur. Tiba-tiba aja muncul p***ng di depannya. Ngga cuma satu lagi. Tiga!!!!"

(Catatan : btw paham kan yah p***ng yang aku sensor maksudnya apa. Yang jelas bukan pisang. Di lingkungan teman-temanku, ada kecenderungan untuk menyamarkan nama-nama penghuni dunia sana karena kami manusia-manusia bernyali sebesar upil dibelah tujuh punya ketakutan untuk menyebut namanya. Takut mereka berasa dipanggil. Awalnya p***ng kita samarkan jadi Mr. P, tapi temanku bilang sebutan Mr. P udah dipake duluan sama Dokter Boyke buat hal lain. Takut ambigu. Jadi ya sudah, kusensor aja.)

Macam api yang makin dikipas makin besar, serupa itulah Mami bercerita. Wajah ngeri tegang penyimaknya membuat cerita Mami makin lama makin seru dan dramatis, bikin bulu kuduk berdiri lebih tegak dari pasukan pengibar bendera pas tujuh belasan di Istana Negara.

Mendengar cerita Mami, perasaanku lama kelamaan mulai ngga enak. Aku bergidik,  ngga nyaman dengan suasana di sini. Demi kesehatan jiwa dan keselamatan rohaniku, akhirnya aku putuskan untuk kabur, kembali ke ruanganku sendiri.

Malamnya, aku nyesel karena ninggalin cerita Mami. Nyesel. Kenapa ngga ninggalin lebih awal????? Sensasi ngerinya masih tertinggal di perasaan. Mensugesti suasana sehingga aura kamar serasa jadi lebih mencekam. Malam jadi meresahkan. Rasanya ingin cepat-cepat jatuh tidur biar cepat-cepat malam berubah pagi. Tapi yang terjadi justru kebalikannya. Aku ngga bisa tidur.

Aku ngelihat jam. Udah hampir jam setengah 1. Ngga bisa gini terus. Besok aku masih harus bangun subuh dan kerja. Aku harus tidur. Maka demi kantung mata tidak menebal macam bapak mantan presiden yang sudah mengeluarkan banyak album, aku memutuskan untuk ngungsi tidur. Aku bawa selimut dan hape lalu pindah tidur sama Mamah. Hape aku taro di meja deket kasur supaya kedengeran kalau alarmnya bunyi. Ngga berapa lama, akhirnya aku bisa tidur.

"...andaikan detik itu (aaaa) kan bergulir kembali (aaaa).."

Sayup-sayup di tengah tidurku aku mendengar suara lantunan lagu Ada Band. Aku kebangun dan ngelihat jam. Jam 3 lebih. Jam segini suara lagu dari mana sih? Orang makan krabby patty jam 3 pagi aku bisa maklum, lah nyetel musik?

Awalnya aku kira itu suara tivi yang sedang ditonton kakak iparku. Dia memang suka kebangun larut malam dan nonton tivi sebentar sebelum lanjut tidur lagi. Tapi kayaknya bukan dari tivi. Suaranya kenceng soalnya, deket banget. Aku pun coba mencari dari mana sumber suara.

Ketemu.

Aku menelan ludah.

Suaranya berasal dari hapeku yang tergeletak manja di meja. Iya, dari hape. Hape yang ngga berbunyi sama sekali sebelum aku tidur. Hape yang tiba-tiba mp3-nya nyala sendiri jam 3 pagi. Iya. Mp3. Nyala. Sendiri.

MP3. NYALA. SENDIRI.

Sialan. 

Dari sekian banyak peserta uji nyali yang ikut kenapa isengnya ke mari sih??

Minggu, 20 September 2020

Favorite Movie

Aku ngga suka film City of Angel. Rasa kesal yang muncul setelah menontonnya tertinggal cukup lama. Bikin sebel. Dalam hatiku ngga bisa berhenti misuh-misuh. Apa-apaan ending macam itu. Penulis skenarionya ini apa nilai ulangan PPKn-nya di bawah standar ya, kok bisa bikin cerita yang melenceng dari nilai tenggang rasa. Jahat dan ngeselin sekali ceritanya. 

Film ini menceritakan tentang malaikat (diperankan Nicolas Cage) yang jatuh cinta sama manusia (si Meg Ryan). Detailnya aku ngga terlalu ingat karena ngga sudi nonton lagi. Pokoknya setelah melalui pergolakan dan pertentangan, si malaikat pun memutuskan untuk jadi manusia demi pujaan hatinya. Bhay kehidupan syurgawi dan hidup abadi. Tapi baru juga sehari, baru aja sebentar mereka bisa sama-sama, Meg Ryan, pujaan hatinya meninggal. Meninggalnya pun menurutku konyol sekali. Meg Ryan yang bersepeda tanpa helm dan tanpa pengaman apa-apa, berkendara secara ngga fokus karena bahagia terlena bunga-bunga asmara, banyak gaya di sepeda, meleng ngga lihat jalan, kemudian meninggal karena ketabrak entah apa aku lupa, truk atau mobil.

Ingin menghujat.

KESEL NGGA SIH??? 

Cinta bikin buta aku udah tau. Tapi bikin sembrono sampai melalaikan keselamatan berkendara itu hal baru buatku. Teledor sampai celaka gitu lho, ya Allah, ngingetnya lagi sekarang pun aku masih kesal. Pengen noyor. MAKANYA JALAN YANG BENER, LIHAT DEPAN, JANGAN MELENG. HIH 

Dari City of Angels aku sadar kalau ternyata aku ngga suka dan ngga bisa nonton film-film sedih. Emosinya kebawa lama ke perasaan. Bikin moodku jadi ngga enak. Maka aku lebih condong pada film yang bergenre aksi, komedi, fantasi, dan terutama animasi. Salah satu film kesayangan yang membuat perasaanku dipenuhi rasa senang dan dengan suka hati kutonton lebih dari sekali adalah Klaus. 

Bercerita tentang Jesper, anak petinggi kantor pos yang akhlaknya kurang terpuji. Mentang-mentang ayahnya punya jabatan, dia jadi jumawa dan malas. Ayahnya murka dan mengirim Jesper ke suatu daerah terpencil untuk jadi petugas pos di sana. Jesper diberi target untuk mengirim 6000 pucuk surat dalam setahun. Kalau target gagal terpenuhi, ia terancam dicoret dari KK oleh ayahnya dan harus mengucapkan dadah pada kekayaan juga harta warisan. 

Smeerensburg, daerah tempat Jesper dikirim bukanlah daerah pemukiman normal pada umumnya dimana setiap warga akur bertetangga kumpul pengajian tiap minggu. Di sana terdapat pertikaian dua keluarga besar yang sudah berlangsung panjang, yang mengakibatkan suasana kampung jadi sangat ngga kondusif. Dua kubu selalu panas. Ribut mulu kerjaannya, kalau sehari ngga berantem kena panas dalem kayaknya. Ngga ada tukang pos yang bertahan lama di sana, semuanya balik kanan bubar jalan. Target 6000 surat per tahun sungguhlah berat sekali bagi Jesper. Namun dari situlah cerita berjalan.

Dah lah film ini terlalu bagus untuk hanya diceritakan. Nontonlah. Rasakan senyum sukacita yang tersungging tiba-tiba dan rasa hangat yang perlahan menyeruak di dada. Jangan lupa tetap ingat aturan berkendara. 

-20 September 2020-