Sebagai kompensasi ketidakhadiranku, dia mengirimkan video saat dia di atas panggung. Video yang durasinya hanya satu menit. Terpotong dari tengah dan tidak tuntas sampak selesai. Tidak ada lagi video lain karena katanya tidak ada yang merekam. Bukan hal besar, toh hanya kata sambutan biasa, katanya. Dan tepat saat itu, tiba-tiba sedih itu datang. Menghantam keras. Kencang sekali.
Betapa berjarak itu sungguh.. menyebalkan. Dan menyedihkan. Karena jarak, entah sudah berapa banyak hal yang terpaksa kulewatkan dan hanya bisa kudengar bagian ceritanya. Entah berapa banyak momen berjalan tanpa ada aku di dalamnya. Seperti acara kemarin salah satunya. Tak peduli bagi orang lain seremeh apa, tapi semua hal baik yang terjadi pada suamiku, semuanya ingin kurayakan. Semuanya ingin turut kurasakan langsung. Semuanya ngga ingin aku lewatkan. Sialan memang jarak.
Dari situ aku sadar, yang paling mengesalkan dari berjarak bukanlah rindu (walaupun iya, itu mengesalkan juga). Yang paling mengesalkan adalah ketidakbisaan untuk hadir secara langsung pada waktu yang sangat kita inginkan. Untuk merasakan langsung. Untuk menikmati langsung. Untuk terlibat langsung. Untuk sepenuhnya hadir. Bukan sekadar video singkat satu menit yang bahkan tidak utuh. Sialan, jarak memang sialan.
Kalau membayangkan banyak lagi hal yang terpaksa aku lewatkan karena ngga bisa hadir, rasanya aku ingin meyakini saja kalau bumi ini benar datar. Dengan begitu mungkin jarak ini bisa aku lipat jadi lebih dekat.
0 komentar:
Posting Komentar