Pages

Senin, 28 Oktober 2024

Fase Nakal

Bukan sombong atau pick me atau kepedean ngaku-ngaku sendiri yah, tapi bisa dibilang aku adalah salah satu manusia yang punya reputasi baik. Sumpah. 

Teman kantorku punya suami yang agak protektif. Kalau pergi kemana-mana, perizinannya agak sulit. Ngga semudah itu dapat approval. Ada interogasi dulu yang dilakukan. Mau kemana, sama siapa aja, ada cowoknya atau ngga, pulang jam berapa, mau ngapain aja, sebutkan belalang bernafas dengan apa, dan pertanyaan lain yang prosesnya panjang. 

Tapi begitu namaku disebut sebagai salah satu peserta yang ikut pergi, izin langsung disetujui. Oh ada Mbak Rosita, aman berarti. Boro-boro mabok ciu, separah-parahnya paling mabok karbo karena lanjut jajan kentang goreng habis makan Indomie. Wajah ini lugu bukan tanpa alasan. Akulah Rosita, si anak baik-baik. Ngga pernah nakal, ngga pernah aneh-aneh, kecuali makan biji salak pake bumbu kacang.

Tapi belakangan aku ngerasa aku sedang masuk fase rebel karena aku ngga se-anak-baik biasanya. Aku mulai terlibat dengan ulah nakal.

Seumur hidupku, aku madol cuma sekali. Itu pun waktu sudah kuliah, saat mata kuliah statistik. Awalnya temanku, si Kutilang mengompori. Lalu temanku satu lagi si Beruang mengipasi. Si Jerapah tergoda dan ikut merayu. Aku pun terhasut. Akhirnya kami berempat membolos, pergi main ke Taman Kota. Itu pengalaman madol pertamaku. Dan hari ini, daftarnya bertambah menjadi dua kali pengalaman. Iya, hari ini aku madol.

Tadi sore, tergoda rasa lapar karena makan siang yang ngga mengenyangkan, aku dan seorang temanku, Alfi, menyelinap keluar kantor lalu kabur jajan ke warung. Lebih parah lagi, sebelum kabur ke warung, kami juga sempat malak teman kami karena ngga ngantongin duit. Huhu apakah aku sedang memasuki fase nakal yang terlambat karena sebelumnya ngga pernah nakal?

Yang Mengesalkan dari Jarak

Berapa hari lalu, suamiku dipercaya untuk memberi kata sambutan pada suatu acara. Sebagai istri, tentu aku bangga. Bangga sekali malahan. Dari sekian banyak orang terlibat, yang diberikan kehormatan itu adalah suamiku. Sebagai suporter militan garda terdepan, tentu inginnya aku menyaksikan langsung. Bersorak paling keras dan bertepuk paling kencang untuknya. Namun sial dan menyebalkannya, kami sedang terpisah jarak. Aku di Tangerang, dia di Pekanbaru. Bukan jarak yang bisa diupayakan dengan naik ojol. Maka sangat disayangkan, aku ngga bisa hadir. 

Sebagai kompensasi ketidakhadiranku, dia mengirimkan video saat dia di atas panggung. Video yang durasinya hanya satu menit. Terpotong dari tengah dan tidak tuntas sampak selesai. Tidak ada lagi video lain karena katanya tidak ada yang merekam. Bukan hal besar, toh hanya kata sambutan biasa, katanya. Dan tepat saat itu, tiba-tiba sedih itu datang. Menghantam keras. Kencang sekali.

Betapa berjarak itu sungguh..  menyebalkan. Dan menyedihkan. Karena jarak, entah sudah berapa banyak hal yang terpaksa kulewatkan dan hanya bisa kudengar bagian ceritanya. Entah berapa banyak momen berjalan tanpa ada aku di dalamnya. Seperti acara kemarin salah satunya. Tak peduli bagi orang lain seremeh apa, tapi semua hal baik yang terjadi pada suamiku, semuanya ingin kurayakan. Semuanya ingin turut kurasakan langsung. Semuanya ngga ingin aku lewatkan. Sialan memang jarak.

Dari situ aku sadar, yang paling mengesalkan dari berjarak bukanlah rindu (walaupun iya, itu mengesalkan juga). Yang paling mengesalkan adalah ketidakbisaan untuk hadir secara langsung pada waktu yang sangat kita inginkan. Untuk merasakan langsung. Untuk menikmati langsung. Untuk terlibat langsung. Untuk sepenuhnya hadir. Bukan sekadar video singkat satu menit yang bahkan tidak utuh. Sialan, jarak memang sialan. 

Kalau membayangkan banyak lagi hal yang terpaksa aku lewatkan karena ngga bisa hadir, rasanya aku ingin meyakini saja kalau bumi ini benar datar. Dengan begitu mungkin jarak ini bisa aku lipat jadi lebih dekat.