Pages

Kamis, 27 Juni 2024

Tentang Kopi

Aku bukan pecinta kopi. 

Awalnya.

Abahku adalah seorang peminum kopi. Setiap hari, setidaknya 3 kali sehari, selalu tersaji secangkir kopi panas untuk Abah. Aku pernah baca, katanya seseorang harus berlatih selama total 10.000 jam untuk jadi seorang ahli. Menghitung jam terbang Abah meminum kopi sudah sangat lama, harusnya Abah sudah bisa dibilang ahli meminum kopi. Master malah. Kalau mau bikin perguruan sendiri sudah terbilang mampu.

Melihat Abah yang sangat menikmati meminum kopi, aku yang saat itu masih kecil jadi penasaran. Wah, rasa kopi seperti apa ya? Kok nampak sedap sekali? Warnanya hitam, apa jangan-jangan sebenarnya kopi itu Coca Cola versi panas? Atau cuko pempek versi manis? Rasa ingin tahuku kala itu melambung tinggi.

Ngga mampu menahan rasa penasaran, aku pun bertekad untuk mencicipi kopi. Maka saat Abah sedang beranjak ke kamar mandi, aku menyeruput gelas kopi abah. 

"Hoeeeeeeekk!"

Apaan ini?????

3 kata untuk menggambarkan kopi yang kuminum saat itu. Pahit, getir, panas. Aku mengernyit, ngga habis pikir, apa yang Abah nikmati dari minuman pahit seperti ini??? Jelas-jelas lebih enak Nutrisari. Kalau emang suka pahit, kenapa ngga minum obat puyer dokter aja sekalian?? Pahitnya dapat, ditambah bonus sehat pula. Ngga ngerti banget. 

Aku segera lari ke dapur mengambil gelas, menuang air, dan minum banyak-banyak untuk menghilangkan rasa pahit dari lidah. 

"Ih, aku ngga suka kopi!" Ucapku kala itu sambil bergidik, menjadi titik awal ketidaksukaanku pada kopi.

*****

Beranjak SMP. 
Kata orang, masa remaja adalah masa yang indah, peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Akalnya sudah lebih maju dari anak-anak untuk mengerti kalau biji jeruk yang tertelan ngga akan tumbuh di perut, tapi tanggung jawabnya belum sebesar orang dewasa yang harus menanggung biaya telepon mahal karena anaknya berkali-kali voting Kia AFI supaya ngga tereliminasi (berdasar kisah nyata Mamaku). 

Masa remaja adalah masa-masa naif memandang dunia. Apa itu kerasnya kehidupan? Belum kenal, kawan! Masalah terbesar yang dipunya kala itu adalah ulangan fisika besok. Dan belum belajar. Dan gurunya galak. Mampus.

Aku melihat jam. Jam delapan malam lebih. Aku sudah mulai ngantuk tapi materi untuk ulangan besok belum selesai dipelajari. Mata mulai berat, berasa beban hidup kupanggul di mata, bukan di punggung. 

Aku mengucek mata. Godaan untuk tidur membesar, sebesar bisikan untuk membakar buku pelajaranku dan meminum abu bakarannya dicampur air. Syukurlah sebelum cara itu kulakukan dan berakhir masuk UGD, ide lain terlintas di kepala. Kopi kan katanya bikin melek. Apa minum kopi ya biar ngga ngantuk? Namun ingatan saat dulu meminum kopi Abah muncul. Aku ragu. Lalu kulihat buku pelajaranku. Buku fisika untuk SMP. Aku tersentak. Raguku menghilang. 

Hei, aku kan sudah SMP! Meski ngomong masih cadel, tapi aku sudah besar! Bukan anak kecil lagi! Dulu aku masih bocah, makanya ngga suka. Siapa tau aku yang sekarang, yang sudah lebih dewasa, bisa meminum kopi! 

Aku beranjak ke dapur. Merebus air, menuang 1 sendok teh gula dan 1 sendok teh kopi bubuk ke cangkir, sesuai takaran kopi Abah. Air mendidih. Kutuang air panas ke cangkir. Kini di depanku teronggok secangkir kopi panas yang mengepul. 

This is it. The moment of truth. 

Akan seperti apa ya rasanya? Aku menelan ludah. Kuputuskan untuk mencicipi dulu sedikit dengan sendok. Kuseruput pelan-pelan. 

Ugh. 

Rasanya masih terasa kurang menyenangkan, sama seperti yang kuingat. Pahit. Kutambahkan sesendok lagi gula supaya rasanya lebih ramah untuk lidah. Kuseruput lagi. Masih kurang menyenangkan tapi lebih baik. Kutambahkan lagi gula, terus sampai kurasa layak untuk dikonsumsi tanpa harus mengernyit kepahitan. Apa itu diabetes? Belum paham, kawan!

Seperti Tsubasa yang tiba-tiba flashback teringat kenangan indahnya bersama bola lalu semangat juangnya muncul lagi, seketika energiku seperti terisi kembali. Uwooooh!! Mataku cerah! Aku ngga ngantuk lagi! Aku siap belajar lagi! Mana sini gaya, percepatan, gravitasi, arus, hambatan, gaya, tegangan, mau keroyokan maju sekaligus juga aku ngga takut! Wani aing! Kadieu sia!

Aku pun berkutat di depan buku dengan khusyuk. Mempelajari bab demi bab tanpa halangan. Lancar jaya. Sampai tiba-tiba terasa sesuatu. Aku merasakan gejolak. Bukan, bukan jatuh cinta. Terasa gejolaknya dalam perut, bukan dalam dada. Semakin lama semakin terasa aneh. Kembung melilit diiringi rasa mules menggetarkan bokong. Aku melirik cangkir kopi yang tinggal tersisa ampasnya. Ini pasti gara-gara dia! 

Ngga kuat menahan mules, aku tergopoh-gopoh lari ke kamar mandi. Orang-orang selama ini salah kaprah. Sebenarnya kopi bukan bikin melek, tapi bikin sakit perut sampai mau ngga mau harus melek gara-gara mules. 

Momen mules itu menjadi titik kedua yang menambah alasan ketidaksukaanku pada kopi.

*****

Waktu berjalan. Hari berganti. Usia bertambah. Lemak menyembul. Pinggang meringkih. Aku sudah sepenuhnya dewasa. Inilah aku, Rosita si budak korporat. Melewati Senin sampai Jumat dengan rutinitas yang sama. Berangkat kerja, sarapan, kerja, mikir makan siang, kerja, makan siang, kerja, jajan, kerja, jajan, kerja, lalu pulang. Ulangi lagi sampai lima hari seminggu. 

Mungkin karena melihat hobi, passion, dan keahlian para karyawannya adalah jajan, sebuah pencerahan muncul di kepala Bos.

"Aha, akan kubuat kafe di sini untuk karyawanku jajan, sehingga gaji dariku untuk mereka akan kembali lagi padaku! Fufufu.."

Itulah perbedaan bos dan karyawan. Bos punya otak bisnis, karyawan punya otak mesum.

Singkat cerita, jadilah kafe percis di depan kantor. Nama baristanya Dita. Barista paling cihuy nomor satu se-Depok Raya dan sekitarnya (kenalan aku yang orang Depok dan profesinya barista dia doang soalnya). Sebagai barista, Dita ini baik banget. Mau gimanapun aneh request pesenan kopi yang datang, tetap diterima dan dibikinin. Tapi ngga tau ya, apa request aneh-aneh itu dibikin dengan ikhlas atau sebenarnya dalam hati menyimpan keinginan untuk ganti bubuk kopinya pake bubuk abate. Seperti waktu pertama kali aku pesen kopi.

Dita : espressonya segimana?
Aku : uh, dikit aja, dikit.
Dita : setengah shot?
Aku : lebih dikit lagi.
Dita : seperempatnya?
Aku : lebih dikit lagi.
Dita : ah ribet! Gua tuang pelan-pelan, ntar lu bilang stop dah!
Aku : iya dah..

Aku nurut aja, takut bikin Dita kesel. Orang kalau udah kesel suka nekat soalnya. Apalagi dia orang Depok. Di Depok kan ada Ayah Ojak.

Dita : *menuang espresso dengan pelan ke dalam cup yang sudah berisi es batu dan susu*
Aku : udah, udah! Stop, stop!
Dita : hah? Baru dikit lho, baru berapa tetes doang!
Aku : iya ngga papa, segitu aja.
Dita : idihh apaan sih nih, bukan kopi ini mah, susu rasa kopi! Ngga ada pait-paitnya!

Dita memandang aku dengan sebal, tatapannya seolah berkata "ribet lu, besok-besok seduh sendiri aja kopiko pake air panas!", lalu menyerahkan satu cup es kopi susu yang lebih mirip adonan pukis keenceran saking pucat warnanya. 

******

Jam 2 siang. Semua serius bekerja. Suasana hening, hanya ramai suara tak tik tak tik tak tik (suara ketikan komputer ya, bukan suara sepatu kuda). Aku menguap untuk yang kesekian kalinya. Ngantuk banget. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, mencoba mengusir kantuk. Andai ngantuk kayak tawon, bisa diusir dengan bilang "pait, pait, pait". 

Aku menguap lagi. Duh, nyerah deh, ngga kuat. Aku memutuskan pesan kopi ke Dita. Tapi kalau pesen kopi pucet biasa kayaknya ngga bakal ngefek. Wong kafeinnya numpang nama doang, ngga ada kontribusi.

Aku : Bandit (ini panggilanku untuk Dita. Berasal dari Mbak Dita. Mbadita. Mbadit. Badit. Bandit), mau kopi dong. Tapi espressonya ditambah ya, lebih dari takaran biasa. Ngantuk banget.
Dita : seriusan? Oke!

Aku ngga berekspektasi banyak. Kalau ternyata mules, ya udah, ada WC ini. Kalau ternyata pahit dan aku ngga suka, ya udah, aku unjuk rasa ke Dita, demo menolak bayar. Dalam pikiranku, yang penting ngga ngantuk lagi. 

Ngga lama pesanan kopiku jadi. Kali ini visualnya seperti kopi susu normal pada umumnya, warna cokelat susu keruh.

Aku menyedot es kopi susuku. Awal tegukan terasa manis, lalu ngga lama muncul sensasi rasa pahit. Beberapa sesapan kemudian, aku tersadar. Di akhir tegukan rasanya pahit. Pahit yang membekas. Tapi anehnya, kali ini pahitnya bisa kuterima. Ngga lagi terasa mengganggu, aku bisa terus menyesapnya tanpa harus buru-buru minum air putih agar pahitnya hilang. Aku bisa bertoleransi dengan rasa pahit. Wah, aku bisa minum kopi. 

Lidahku sudah bisa menerima kopi. Sayangnya lambungku belum. Masih terasa mules setelahnya. Tapi efeknya ngga separah dulu. Yang kali ini tertahankan. Dibawa boker dia mereda. 

Wah, aku bisa minum kopi. Akulah Rosita, orang dewasa peminum kopi.

Apa karena terbiasa minum es kopi susu pucet ya, lambung dan lidahku lama-lama beradaptasi sehingga akhirnya bisa menerima kopi yang masuk? Kopi sekarang bisa kunikmati dengan senang. Nyaman di lidah, ramah di lambung. Masih ada terasa sedikit getir, tapi di dompet. Kalau benar karena es kopi susu pucet, aku jadi merasa bersalah karena udah bilang dia ngga ada kontribusinya. Huhu, maafkan aku ya es kopi susu pucet.